Dibawah rintik hujan yang mengguyur Tentena, Sabtu malam tanggal 24 Maret 2018, maestro budaya Indonesia, Yustinus Hokey memberikan orasi budaya tentang peran musik dalam menjaga alam. Ngkai Tinus, demikian nama akrabnya, menyebutkan bahwa musik adalah salah satu cara menjaga alam yang kini mulai terganggu karena aktifitas manusia yang serakah memperlakukan alam. Dalam acara panggung bersama yang dilaksanakan oleh Project Sophia Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Radio Mosintuwu itu, Ngkai Tinus menekankan pentingnya menggunakan seni sebagai diplomasi budaya untuk mendorong kebijakan yang mendukung melestarikan alam.
“Acara ini sangat bagus. Ini adalah bentuk diplomasi budaya melalui kegiatan-kegiatan berkesenian, mengajak masyarakat, khususnya generasi muda untuk menyanyikan lagu-lagu etnik Poso”kata Ngkai Tinus.
Ditambahkannya, gerakan kebudayaan harus terus dilakukan untuk menjaga kelestarian adat budaya orang Poso. Namun hal penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana agar nilai-nilai yang ingin disampaikan bisa dipahami dengan benar oleh anak-anak muda.
Meski hanya sekitar 10 menit berpidato, karena hujan yang semakin deras, penerima gelar maestro budaya dari Kementrian Pendidikan pada tahun 2016 ini menyampaikan kritik atas praktek pembangunan yang tidak menghargai sejarah dan budaya orang Poso. Menurutnya, renovasi jembatan Pamona atau Yondompamona yang direncanakan oleh PT Poso Energy dan Pemda Kabupaten Poso keliru melihat sejarah.
“Jembatan Pamona bukan sekedar bangunan kayu yang menjadi tempat penyeberangan, namun sudah menjadi satu-satunya peninggalan budaya Mesale atau bekerja bersama orang-orang disekeliling danau yang masih tersisa” ujarnya. Panggung Budaya yang digagas oleh anak-anak muda dari kawasan Danau Poso ini diharapkannya menjadi kekuatan yang akan mengembalikan semangat para leluhur yang menjaga alam dengan tradisi yang ramah dan menghargai alam. Bermusik menjadi cara berdiplomasi budaya antara orang tua pelaku sejarah dan anak-anak muda.
Syair-syair Peradaban
4 band dari kawasan Danau Poso menjadi model diplomasi budaya anak muda melalui musik di Panggung Bersama yang dilaksanakan di Taman Kota Tentena. Sintuwu Akustik yang anggotanya terdiri dari siswa SMP; Watumpoga’a Band yang anggotanya terdiri dari siswa SMP dan SMU; Ue Puro Akustik yang terdiri dari para mahasiswa dan guru muda serta Temperament Navigasi melagukan lagu-lagu daerah dan musik etnik tentang kebudayaan di danau Poso.
“Sangat terharu, ada anak-anak muda yang masih mau ingat tentang perjuangan kita dulu orang-orang tua membangun di sini” cerita Ngkai Kalengke, salah seorang penonton yang setia mengikuti Panggung Bersama “kami sebagai orang tua merasa warisan kita tidak akan hilang jika anak-anak muda mau ingat”
Lagu YondoMpamona dinyanyikan secara bersama-sama oleh para musisi muda membuka Panggung Bersama yang bertema Syair-syair Peradaban. Gerimis dan hujan yang semakin deras tidak menghentikan lantunan lagu keempat band ini untuk menceritakan kampung halaman dan Danau Poso Sintuwu . Sintuwu Akustik membawakan tiga lagu daerah masing-masing Wayamasapi, Inanco dan Tuwu ri Lemba Poso. Diikuti Watumpoga’a Band menyanyikan Matiandano, Tentena, dan Watumpoga’a. Ue Puro melagukan kerinduan mengabdi pada kampung halaman melalui lagu Lipu Mpeari, diikuti Isu Tempo dan Busur Hujan lagu yang bercerita tentang alam dari Navicula.
Rasa hormat dan kekaguman pada kebersamaan dan persatuan para orang tua saat membangun jembatan Yondompamona diekspresikan Temperament Navigasi dalam lagu Ode. Hio, hio, pakaroso witi kodi , diteriakkan dengan lantang dalam lirik lagu, sebuah seruan yang dilantunkan para orang tua saat membangun jembatan.
Kehadiran PEDATI, kelompok musik etnik dari Palu menguatkan diplomasi budaya malam itu. Beranggotakan 8 orang dilengkapi alat musik khas seperti lalofe, mereka melantunkan lagu-lagu tentang alam yang dirusak ,kebudayaan yang dihilangkan oleh pembangunan. Tidak lupa, Pedati berkolaborasi dengan seluruh anggota band menyanyikan lagu baru Danau adalah Kami . Lagu yang baru diciptakan sesaat setelah Telusur Budaya pagi hari yang diikuti oleh anak muda sekeliling Danau Poso, menjadi penutup diplomasi budaya di Panggung Bersama.
Yeni, koordinator Project Sophia Institut Mosintuwu menjelaskan“Panggung Bersama ini dirancang menjadi ruang dialog lintas generasi , musik salah satunya”
Selain para musisi muda, Panggung Bersama juga menampilkan sederetan gambar bertemakan Danau Poso, foto dan video yang dibuat oleh anak muda Danau Poso seperti Erik, Dayu, Ishak Sabintoe dan Ray Rarea. Direncanakan Panggung Bersama akan diselenggarakan setiap sebulan sekali dengan melibatkan beragam bentuk seni dan ekspresi budaya oleh anak-anak muda.
Hanya Karena Panggung Sudah Tak Ada
Acara panggung bersama di taman kota Tentena yang dilaksanakan oleh Project Sophia malam minggu lalu 24 Maret 2018 bukan hanya menampilkan grup band saja, tapi juga bagaimana semangat gotong royong masyarakat yang muncul saat tenda yang dipasang di depan panggung harus dipindahkan.
Mendung pekat sudah mulai menutup bintang saat waktu menunjukkan pukul 18:30 wita. Saat warga mulai berdatangan untuk menyaksikan acara, hujan mulai turun. Namun semangat anak-anak muda yang hadir tidak surut, tanpa dikomando mereka mengangkat tenda untuk menjadi panggung, melindungi para pemain band dan peralatannya agar acara tetap berjalan.
Memindahkan tenda berukuran sekitar 9 x 3 meter itu bukan pekerjaan mudah karena dibutuhkan kerjasama agar saat diangkat tidak roboh. Namun kerjasama dan saling mendengarkan membuat pemindahannya berjalan lancar. Bukan hanya dalam proses memindahkan tenda saja gotong royong terlihat. Saat hujan semakin deras, banyak peralatan yang harus dilindungi agar tidak basah, selain bisa rusak, ada potensi bahaya dari tegangan listrik yang besar dari peralatan elektronik di panggung mengintai. Saat itu juga banyak orang disekitar panggung yang bukan panitia berinisiatif menjaga alat-alat itu aman dari terpaan hujan, kendati pakaian mereka basah.
Pukul 20:00 wita hujan kembali turun dengan deras setelah sempat reda selama 10 menit. Kali ini penonton tidak beranjak, namun bukan pulang, mereka berteduh dibawah bangunan Lobo yang ada di bagian kiri depan panggung. Dari sanalah mereka mengikuti acara demi acara panggung bersama yang berlangsung dibawah hujan deras.
Penonton setia tetap bertahan, begitu juga band yang tampil dipanggung. Percikan air ditambah angin mulai membasahi peralatan tidak membuat musik berhenti. lantai panggung mulai menyempit karena genangan air mulai muncul, speaker dinaikkan ke kursi, pemain dan penyanyi agak mundur karena didepan air mulai menggenang, penonton yang berada di sekitar tenda panggung mulai merapat, akhirnya panggung penuh sesak. Koor penonton mengiringi lagu tetap berlangsung dengan semangat. Alasan keselamatan peralatan dan bahaya sengatan listrik yang akhirnya membuat para musisi mengakhiri penampilan mereka