Lonceng natal bergema di hampir seluruh desa sejak awal Desember. Rumah-rumah telah dihias, kue-kue telah dipesan dan dibuat berbagai rasa, undangan dan pesan damai disebar, kunjungan diharapkan. Lebih dari itu, sekali lagi moment hari raya ini adalah milik bersama semua warga Poso.
“Natal, seperti juga idulfitri tidak pernah hanya menjadi milik umat dari agama yang merayakan. Ini berbeda dari yang di televisi. Kalau natal di Poso, di desa-desa, termasuk di kota kalau sudah hari raya seperti ini akan saling mengundang dan mendatangi. Muslim, Kristen, Hindu” ungkap ibu Ria dengan bangga. Sejak malam natal, keluarganya yang muslim dari Poso datang ke Tentena dan bersama-sama berkumpul, berbagi cerita. Jika sebelumnya sejak awal Desember, aktivitas warga lebih khusus dilakukan oleh warga Kristen yang melaksanakan ibadah kategorial seperti natal remaja, natal pemuda, natal anak, natal bapak, natal ibu, natal kelompok dan sebagainya, pada saat malam natal tanggal 24 Desember hingga tanggal 25 Desember, yang nampak adalah perayaan bersama warga untuk saling berkumpul, bercerita bahkan bersukaria. Hal ini nampak jelas pada malam natal. Pukul 20.30 selepas ibadah natal di gereja, udara malam di hampir seluruh desa dan dalam kota diramaikan dengan kembang api. Di wilayah Tentena, kembang api menghiasi malam di hampir semua tempat termasuk di wilayah pemukiman eks pengungsi. Para penduduk keluar dari rumah, berkerumun di tengah jalan menonton kembang api atau saling berkunjung di rumah tetangga terdekat. Hal yang sama juga terjadi di kota Poso dan sekitarnya. Dalam pantauan Perempuan Poso, kembang api dan kerumunan warga di jalan yang saling mengucapkan selamat tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah perkampungan yang mayoritas Kristen tapi bahkan juga terjadi di kampung-kampung yang warganya mayoritas beragama Islam. Seperti di Kelurahan Sayo, para pemuda muslim juga ikut hanyut dalam pesta kembang api. Bagi mereka, kemeriahan menyambut malam natal adalah kebersamaan untuk bersukaria, mereka bahkan bisa menggunakan saat itu untuk berkumpul dengan kawan-kawan mereka yang beragama Kristen, khususnya pemuda. “ seperti dulu lagi, bedanya cuma kalau dulu lebih banyak” ujar Anto, seorang pemuda muslim.
Kehangatan dan kebersamaan menyebar hingga pagi natal. Di wilayah Tentena, di banyak keluarga, terdapat keluarga muslim yang sejak sehari atau dua hari telah menginap di rumah keluarganya yang kristen ikut menyiapkan kue-kue dan minuman bagi tamu yang datang sementara keluarga yang Kristen pergi ke gereja. Rumah keluarga mama Ika di Pamona misalnya. Di rumah-rumah warga Kristen di kota Poso, dipenuhi warga muslim yang datang bersilahturami dan makan dengan lahap. Menurut ibu Yuli, natal tahun ini mengingatkan mereka pada natal-natal penuh harmoni di tahun-tahun sebelum konflik. “ gembira sekali bisa merayakan hari raya bersama-sama dengan saudara kristen. Dengan sama-sama seperti ini perasaan semakin damai” kata Samsu, seorang bapak yang berkunjung ke keluarga Kristen memberikan selamat natal.
Kesungguhan untuk merajut tali silahturahmi antar keluarga lintas identitas ini bahkan mematahkan larangan oleh sebagian pandangan yang melarang pengucapan selamat natal pada warga kristen. Arif, misalnya, seorang warga Kayamanya yang berkawan baik dengan Rudy seorang Kristen mengatakan “ hal yang terkait agama harusnya merupakan hal pribadi. Ucapan selamat natal justru merekatkan tali silahturahmi dan mendekatkan keluarga kita lagi. Sudah saatnya kita seperti dulu lagi. Rukun, harmoni. Berlomba-lomba berbuat kebaikan”. Pawai natal yang juga biasanya diselenggarakan oleh warga Kristen di Tentena, kali ini diramaikan juga oleh kendaraan beberapa keluarga muslim. Dalam pawai natal, selain menghias kendaraan dengan ornamen natal, pesan-pesan damai natal disuarakan melalui pengeras suara mengiringi lagu-lagu natal. Anak-anak, orang tua, pemuda, remaja dari segala usia dan latarbelakang bersama-sama menebarkan senyum kesukacitaan.
Sementara itu, bagi keluarga ibu Eni di salah satu wilayah pemukiman pengungsi di Anduru, natal tahun ini menjadi berbeda dalam memaknai kehidupan. Ucapan syukur pada Tuhan karena tahun-tahun di pengungsian semakin membaik. Meskipun tanpa pohon natal, tanpa kue, bahkan hanya mendapat sumbangan minuman dari beberapa keluarga yang lain. Bukan hanya ibu Tanti, masih terdapat ribuan warga eks pengungsian yang merayakan natal sederhana namun khidmat penuh syukur. Perlindungan selama konflik berlangsung hingga pasca konflik ketika memutuskan hidup di luar daerah asalnya dari nol menjadi bukti ucapan syukur mereka. Berbeda dengan koordinator pengungsi Posunga, Marthen, yang tetap bersikap kritis dalam ungkapan syukurnya terutama terhadap upaya pengungkapan kasus korupsi dana recovery. Menurutnya, kelahiran Yesus yang dirayakan dalam natal harus juga dilihat sebagai kebangkitan melawan ketertindasan dan penyingkiran kaum lemah seperti yang selama ini diteladankan Yesus. Menurutnya, jika pemerintah bersungguh-sungguh mengelola dana pengungsi dan dana recovery maka keadaan masyarakat akan membaik. Itu salah satu yang masih harus diwujudkan. Karena natal kemudian tentang perdamaian tapi juga hak-hak asasi. Hak hidup yang juga diperjuangkan oleh Yesus semasa hidupnya.
Pesan-pesan damai natal di gereja juga meliputi harapan, dan kehangatan tapi juga keberanian untuk terus bertindak dalam perdamaian dan perjuangan kesejahteraan kaum marginal, mereka yang terpinggirkan.
Demikianlah natal, menjadi bermakna bagi semua keluarga di Poso, terutama untuk upaya terus menerus menguatkan kekeluargaan, harmoni, dan akhirnya damai.