Temu Kenal Budaya Waropen Papua – Poso : Kuatkan Semangat Berdaulat atas Tanah dan Air

0
3013

Tidak banyak yang tahu, wilayah Mungkudena yang kini dikenal sebagai kelurahan Sawidago menyimpan sejarah budaya yang panjang di seputaran Danau Poso. Salah satunya yang berkait dengan menjaga kedaulatan danau Poso dari penguasaan pihak luar. Kisah itu dituturkan para tetua Sawidago kepada mama-mama Waropen Papua saat pertemuan kenal budaya, Sabtu malam, 5 Mei 2018 lalu.

Temu kenal budaya antara Waropen Papua dan Poso khususnya Sawidago menjadi bagian dari rangkaian penutupan kunjungan mama-mama Papua Waropen untuk belajar bersama di Sekolah Perempuan Poso.  Acara yang dihadiri sekitar 200an warga itu berisi tukar informasi budaya dari kedua daerah, yakni kabupaten Waropen dan Kabupaten Poso.

Ketua adat masyarakat Sawidago menceritakan kepada mama-mama Papua bagaimana sikap masyarakat Sawidago mempertahankan danau Poso, tepatnya Kompo Dongi dari klaim Umana Soli, pemimpin masyarakat Pekurehua, Lore pada masa lalu. Ketika itu Mokole Binta, pemimpin masyarakat Mungkudena bersama tokoh masyarakat Langgadopi, kini Sangele dan Wawolemba yang kini menjadi Tentena bersama-sama melawan penguasaan sepihak itu.

Kisah perlawanan Mokole Binta atau Ngkai Metungku ini menginsiprasi mama-mama Papua maupun masyarakat yang hadir untuk mempelajari kembali sejarahnya. Bagaimana pentingnya mempertahankan tanah mereka.

“Sampai saat ini, masyarakat Sawidago masih merasa berdaulat penuh untuk mempertahankan tanah dan air di kabupaten Poso ini. Karena itu saya rasa kita semua harus menjunjung tinggi adat dan budaya tana Poso ini” demikian kata ketua adat  ini. Hal ini diamini oleh para cucu dan keturan dari  Mokole Binta yang masih hidup di Sawidago saat ini.

Baca Juga :  Pemulasaraan Jenazah, Dialog Mencari Persamaan dalam Islam

Mama Sance Wanggai, aktivis perempuan dari Waropen yang juga istri wakil bupati Waropen memberikan sambutan hangat mewakili mama-mama Waropen. Dalam sambutannya,  mereka bertekad memajukan peran-peran perempuan di Waropen untuk mempertahankan tanah-tanah mereka dari incaran pihak-pihak luar yang ingin menguasainya.

“Ini sangat penting. Terutama bagaimana perempuan harus berperan mempertahankan tanah-tanah mereka, sebab merekalah yang paling mengetahui pentingnya tanah untuk kelanjutan hidupnya”kata mama Sance.

Dalam  temu kenal budaya yang dilaksanakan selama kurang lebih 5 jam di rumah warga , Lian Gogali pendiri Institut Mosintuwu mengatakan bahwa isu tentang kedaulatan tanah, air, udara di kampung atau lipu adalah yang mempersatukan budaya Waropen Papua dan orang Poso khususnya Pamona di Sawidago. Dengan mengajak peserta menyanyikan lagu “desaku” karya L Manik, Lian mengingatkan kampung halaman atau lipu adalah dasar utama masyarakat untuk memperjuangkan kedaulatan ekonomi, budaya, sosial dan politiknya. 

Disambut dengan makan pinang dan sirih di acara Pepamomoka , penyambutan dengan adat oleh Majelis Adat Sawidago semakin menguatkan hubungan antara mama-mama Papua dari Kabupaten Waropen dengan warga Poso khususnya di Kelurahan Sawidago . “Kita bertemu di semangat perempuan menjaga tanahnya dan rasa buah pinang” ujar mama Telly, yang lahap memakan buah pinang yang dibagikan.

Pertemuan budaya di kelurahan Sawidago tentu saja tidak hanya berisi pernyataan-pernyataan, ada penampilan dari kelompok musik dari kelompok Sintuwu Acoustic, Watumpoga’a Band, Ue Puro Band musik lokaborasi Panggung Bersama yang membawakan lagu berjudul Danau. Lagu ini bercerita tentang pentingnya mempertahankan danau  dengan menempatkannya sebagai bagian dari identitas orang Poso.

Baca Juga :  Pendidikan Agama yang Pluralis di Sekolah Poso

Wajah Poso bagi orang Waropen, Papua

Temu budaya Waropen Papua dan Poso ini sekaligus memperkuat para mama Papua dari Waropen yang berkunjung bersama dengan pejabat daerah Kabupaten Waropen. Inspirasi ini memperkuat mereka untuk mengabarkan Poso sebagai sebuah tempat belajar tentang perdamaian yang berkeadilan bagi kedaulatan masyarakat.

“Awalnya kami mendengar Poso bebagai daerah konflik, daerah yang ada terorisnya, setelah kami tiba di sini ternyata sangat berbeda” demikian tutur Pejabat kepala dinas Pariwisata kabupaten Waropen.

Media menurut dia, membentuk gambaran tentang Poso kepada masyarakat Papua sebagai daerah konflik. Namun setelah berada di Poso selama 3 hari, gambaran itu lenyap dari benaknya. “Ternyata masyarakatnya sangat ramah dan bersahabat. Kekerasan seperti yang digambarkan oleh media itu menurut saya bukan nilai dasar orang Poso”kata pejabat yang turut dalam rombongan studi banding sekolah perempuan kabupaten Waropen ke Institut Mosintuwu.

Sebagai daerah kabupaten baru di provinsi Papua, Waropen, kata Kepala Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak kabupaten Waropen, Demarce Maniburi mengatakan, dia membawa mama-mama ke Poso untuk melihat bagaimana peserta sekolah perempuan di Poso berhasil melalui segala macam persoalan yang dihadapi, bahkan bukan hanya sebagai penonton, tapi menjadi penggerak perdamaian dan perubahan pembangunan di desanya.

Baca Juga :  Memutus Rantai KDRT di Sekolah Perempuan

“Sekolah perempuan adalah wadah satu-satunya yang diperuntukkan yang diperuntukkan bagi warga Waropen untuk maju tanpa merubah budaya orang Waropen. Ini merupakan pendekatan yang kami anggap paling tepat”kata mama kepala Demarce.

“Orang-orang di Poso atau di Tentena ini, baik-baik, saya sangat terkesan, tidak seperti yang pernah kami dengar di berita”kata mama Teli, salah seorang peserta studi banding setelah turun lapangan ke Poso Pesisir.

Pandangan seram tentang Poso seperti yang dirasakan ketika hendak ke Poso langsung hilang setelah para utusan kabupaten Waropen ini melihat sendiri bagaimana sambutan bersahabat masyarakat Poso, seperti yang ditunjukkan warga desa Tokorondo dan Kilo di Poso Pesisir Utara, dua daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Dua desa ini masuk dalam wilayah Operasi keamanan berjilid-jilid yang diberi nama Tinombala. 

Ditengah operasi keamanan, perempuan di desa-desa justru tidak terpengaruh, bahkan saling memberi informasi dan klarifikasi bila ada peristiwa terkait dengan operasi keamanan itu maupun kejadian berupa tindak kekerasan yang terjadi. Selain itu, kunjungan mama-mama Papua Waropen ini menjadi bukti kerja keras membangun perdamaian yang dilakukan perempuan desa di Poso dapat menjadi contoh di berbagai tempat. 

Institut Mosintuwu sejak tahun 2014 memperkenalkan Poso sebagai tanah harapan, melalui berbagai kampanye di media dan juga melalui aktivitas lintas wilayah dan antar negara. “Kita berharap agar melalui gerakan perempuan, Poso bisa dilihat kembali sebagai tempat dimana perdamaian yang berkeadilan hidup” ujar Susan, pengelola Dodoha Mosintuwu.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda