Montibu, Suara dari Air untuk Jaga Danau Poso

0
2404

Oohaiyoo…Pakarosooo ! seruan bersejarah itu menggema di mulut Danau Poso siang hingga malam hari. Di siang hari terik, Janis Moento, nelayan to Ponyilo meneriakkan seruan penyemangat itu sambil berdiri dilambung perahunya. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu sepanjang lebih dari 5 meter, tangan kiri memegang kemudi. Hari itu dia memimpin Montibu, tradisi mencari ikan dengan memukul tongkat ke air untuk menimbulkan suara dan gelombang sehingga ikan berenang ke lokasi jaring yang dipasang. Namun kali ini, dia tidak sedang mencari ikan, tapi mengingatkan para pemimpin untuk menjaga danau Poso dari ancaman kerusakan.

Bersama Kisman, papa Devi dan ngkai  sesekali memukulkan tongkat ke air, menimbulkan suara kecibak yang keras diiringi seruan dari dalam perahu “Oohaiyoo..Pakarosoo ! “

Montibu atau Montibuu yang dilakukan Aliansi Penjaga Danau Poso, Rabu 25 Juli 2018 lalu baru pertama kali dilaksanakan lagi bersama-sama. Sembilan perahu dengan formasi berjejer dua mengelilingi area danau diantara Watu mPangasa Angga, Goa Pamona dan banua mPogombo. Di bagian depan perahu, satu orang berdiri memegang tiang bambu sepanjang lebih dari 5 meter memukulkan ujung tiang yang diberi pemberat bulat dari kayu ke air. Aksi Montibuu yang digelar selama lebih dari 1 jam oleh nelayan, perempuan dan tokoh adat.

“Baru kali ini lagi ada Montibuu, tapi bukan menangkap ikan. Montibu ini untuk kasi dengar suara air danau ini sama kita punya pemimpin untuk bersuara, seperti suara air yang menggema, jangan diam supaya kami tau”kata seorang ibu yang biasa dipanggil ibu Kayori dari desa Tindoli yang ikut dalam perahu.

Baca Juga :  Film Sekandung Badan : Beda Agama Tidak Putuskan Kekeluargaan

Tidak lelah, di bawah sinar terik matahari, berulang kali semuanya meneriakkan seruan Ohaiyo Pakaroso.  Beberapa orang yang menepi di Jembatan Pamona ikut berteriak. Haru. Teriakan ini adalah teriakan bersejarah yang sering digunakan sejak nenek moyang Pamona untuk memberi semangat bekerja bersama mencapai tujuan. Perahu berjejer di jembatan Yondo mPamona, gendang dan gong bertalu-talu, mengiringi lagu Lemba Tana Poso. Lagu yang bersejarah itu menceritakan tana Poso yang dicintai dan dijaga bersama.

Montibu kali ini memang bertepatan dengan dua momen besar, yang pertama adalah Konven pendeta GKST dan kedatangan wakil presiden Jusuf Kalla, di Tentena. Montibu, menurut Hajai Ancura dari Aliansi Penjaga Danau Poso untuk mengingatkan para pemimpin agama agar menjaga danau Poso.

“Saya bangga. Saya terharu, masyarakat menyambut aksi kita begitu antusias. Ini artinya mereka mendukung kita. Namun ini bukan aksi terakhir, kita masih akan terus berjuang dengan jalan kebudayaan untuk mempertahankan danau kita”kata Janis Moento.

Panca, anggota Aliansi Penjaga Danau Poso mengatakan, Montibu juga mengingatkan masyarakat pentingnya menjaga tradisi-tradisi warisan leluhur yang membuat danau Poso tetap bertahan seperti saat ini.

Sekitar 60 orang berada  dalam 9 perahu. Berperahu dari Watu mPangasa Angga menuju jembatan Pamona, lalu kembali dan berputar di depan Banua mPogombo. Di tepi danau dekat Banua mPogombo berkumpulnya sekitar tujuh ratus orang pendeta GKST yang mengikuti Konven Pendeta se-GKST. Diiringi musik Karambanga Sese Dongi dari Desa Soe, beberapa orang perempuan turun membawa selebaran berisi informasi rencana pengerukan mulut danau Poso.

Baca Juga :  Seminar Biodiversity : Mengenalkan Biodiversity Danau Poso Kepada Pelajar

“Saya masuk kedalam. Saya bagikan kertas, banyak yang menerima dengan baik ada juga yang tidak suka. Tapi saya terus bagikan, ini adalah tanggung jawab kita memelihara danau”kata ibu.

Setelah aksi teaterikal Montibu, sore sekitar pukul 16:00 wita, para peserta kembali melanjutkan aksinya dengan berjalan kaki melintasi beberapa titik di kelurahan Pamona dan Sangele. Dari kawasan Yosi, peserta berjalan berpasangan sambil membawa bendera  dengan hastag Penjaga Danau Poso menuju ke jembatan tua Pamona, ke taman kota, lalu kembali ke Yosi. Sambil berjalan peserta membagi-bagikan kartu dukungan bagi gerakan pelestarian danau Poso kepada masyarakat yang mereka temui.

Montibu dan jalan kaki ini, merupakan bagian dari penolakan terhadap rencana pengerukan mulut sungai danau Poso sepanjang 12,8 kilometer dan lebar 40 meter dengan kedalaman 2-4 meter oleh perusahaan pembangkit listrik PLTA PT Poso Energi milik keluarga Jusuf Kalla. Pengerukan ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air turbin-turbin raksasa dari 3 pembangkit listrik, pertama untuk Poso 2 yang berkapasitas 169 MW dan Poso 1 berkapasitas 120 MW, adapun Poso 3 rencananya akan segera dibangun dengan kapasitas 300 MW.

Penolakan atas rencana ini sebab akan menghilangkan beberapa tradisi yang hidup didalamnya. Diantara tradisi yang hilang itu adalah Waya Masapi alias alat tangkap Sidat yang sudah dikenal masyarakat Pamona sejak seratusan tahun lalu. Tradisi kedua yang terancam hilang adalah Monyilo, yakni menombak ikan pada malam hari di area yang akan dikeruk itu. Tradisi selanjutnya yang juga akan tamat adalah Mosango. Tradisi Mosango adalah menangkap ikan beramai-ramai menggunakan alat yang terbuat dari rajutan lidi enau atau bambu yang diikat dengan rotan bernama Sango. Tradisi ini hidup di wilayah dimana ikan-ikan datang ke pinggir danau saat air naik dan terjebak saat air turun.

Baca Juga :  1 Tahun Pandemi di Poso, Korban Bertambah, Hadapi Infodemik dan Ketidakpedulian

Dalam rencana pengerukan ini, ada barter yang diberikan perusahaan milik Jusuf Kalla kepada pemerintah kabupaten Poso yang sudah mendukung pengerukan ini, yakni membangun taman air dikawasan seluas 26 hektar yang dikenal oleh masyarakat Tentena sebagai Kompo Dongi. Di lokasi dimana akan dilakukan pengerukan inilah tradisi Mosango dilaksanakan turun temurun.

Seiring hilangnya tradisi itu, hilang pula mata pencaharian nelayan kecil yang menggantungkan hidup dari Monyilo dan Waya Masapi. Selain itu masih ada lagi kelompok masyarakat yang akan kehilangan pencaharian, yakni penambang pasir tradisional di kelurahan Petirodongo.

“Sebenarnya bukan hanya hilangnya mata pencaharian, tapi kebudayaan Danau Poso akan hilang” cetus Hajai Ancura. “Kalau sudah hilang, identitas orang Poso apa lagi”

Demikianlah Montibu, menjadi metode yang dipilih untuk mengingatkan air yang ada di Danau Poso dengan seluruh tradisi di dalamnya adalah kebudayaan, peradaban dan identitas orang Poso.

 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda