Bertemu Pengrajin, Mendekatkan Inspirasi Pada Alam dan Budaya Poso

0
3067

Meski sudah tidak lagi menjadi pakaian sehari-hari, kain Fuya masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Poso khususnya saat pelaksanaan upacara adat atau pernikahan. Fungsinya yang sudah semakin tergeser oleh kain berbahan benang juga membuat generasi muda mulai melupakannya karena dianggap ketinggalan zaman meski teknologi untuk membuatnya sudah canggih dimasa ribuan tahun lalu. Ada satu benda penting untuk membuat kain yang mirip kertas kasar ini. Yang pertama adalah batu bergaris berbentuk segi empat berukuran sekitar 10 cm yang disebut Ike. Batu ini dijepit dengan rotan sehingga menjadi alat pemukul.

Untuk menghasilkan kain Fuya dibutuhkan kulit kayu yang tidak sembarangan. Hanya ada jenis pohon tertentu yang bisa diambil, yakni pohon Nunu dan pohon Ivo.  Agus Tohama, salah seorang pegiat Fuya di lembah Bada menjelaskan, kulit kayu diambil dari batang pohon berukuran panjang sekitar 130 centimeter, lalu dikupas dan dikeluarkan seratnya, setelah itu direbus selama beberapa jam. Setelah direbus, kulit kayu kemudian di pukul-pukul menggunakan Ike. Total waktu untuk mengubah kulit kayu hingga menjadi kain sekitar 5 jam. Setelah berbentuk lebar, kulit kayu kemudian dijemur hingga kering. Adapun untuk pewarnaan menggunakan bahan-bahan alami seperti kulit kayu, bunga hingga dilumuri tanah.

Baca Juga :  Festival Tradisi Kehidupan di Peura : Mengingat dan Menjaga Tradisi orang Desa

Untuk mempertahankan Fuya dari kepunahan, beberapa upaya pelestarian dilakukan, salah satunya oleh Novieta Tourisia lewat kelompoknya, Cinta Bumi Artisan, mengembangkan Fuya bukan lagi hanya menjadi sepotong baju atau rok tetapi sudah berupa tas, dompet dan produk kreatif lainnya yang bernilai tinggi. Kain Fuya yang digunakan berasal dari para pengrajin di desa-desa yang ada di lembah Bada.  

Sepanjang 3 hari festival, stand Meet the Artisan selalu ramai. Yang menggembirakan, yang singgah disini sebagian besar adalah anak-anak muda yang bukan hanya ingin tahu produk yang dihasilkan Novieta dan pengrajin lainnya tapi bagaimana proses pengolahannya mulai dari mengenalkan pohon Ivo. Ini penting diketahui generasi muda agar mereka terus merawat alam.

Bukan hanya melihat-lihat. Para pengunjung stand juga diajak membuat sendiri kalung berbahan Fuya. Bermodal kain Fuya sisa pembuatan tas, dompet dan baju, Novieta mengambil sedikit lem, gunting lalu memotong karton untuk membuat model kalung yang diinginkan, bentuk persegi panjang atau segi tiga. Sisa-sisa Fuya lalu ditempelkan ke karton yang sudah dipotong dengan sedikit lem. Jadilah kalung Fuya yang cantik.

Baca Juga :  Dokumen Warisan Geologi, Langkah Menuju Geopark Danau Poso

Vita Nurmahtia, seorang pengunjung dari Poso Kota Utara yang datang ke stand kerajinan ini mengungkapkan betapa dia terinspirasi setelah melihat bagaimana Fuya bisa jadi perhiasan yang disukai anak muda. Kreasi ini menunjukkan setiap bagian Fuya memiliki nilai tinggi jika kita kreatif.

Selain Fuya, alam lembah Bada juga kaya akan Kalide, buah dari jenis semak yang banyak ditemukan di kawasan Megalith itu berkontur keras, bulat dan memiliki lubang ditengahnya. Buah Kalide memiliki dua warna, Ungu kehitaman dan putih. Umumnya warga di lembah Bada memanfaatkannya menjadi kalung. Belakangan Viktor Agus Tohama, seorang pemandu wisata di wilayah itu mengembangkannya menjadi beragam kerajinan seperti tas, tempat handphone hingga rompi. 

Menyambungkan buah-buah Kalide dengan benang diwaktu senggang menjadi aktifitas banyak warga di Bada saat ini. Mereka biasa menjualnya dengan harga 75 ribu rupiah untuk satu buah tas kecil hingga 150 ribu untuk sebuah rompi keren.

Semak-semak Kalide yang banyak ditemukan di lembah Lore khususnya Bada menurut Agus Tohama bisa menjadi potensi ekonomi sekaligus wisata yang perlu dipertimbangkan, sehingga saat wisatawan datang ke Bada tidak hanya kelokasi Megalith tapi juga bisa melihat kebudayaan lainnya yang masih hidup yakni Fuya dan kerajinan Kalide.

Baca Juga :  Gawe Ada Ngkatuwu Ada Mpojamaa, Upaya Menggali Kembali Tradisi Bertani Pamona yang Hilang

Festival Mosintuwu menurut Agus Tohama memberikan peluang berkembangnya kerajinan ramah lingkungan ini karena akan semakin dikenal oleh masyarakat diluar Poso.  Agus yakin kerajinan Fuya maupun Kalide juga bisa menarik orang datang ke Bada untuk melihat dan membelinya, bukan sekedar mengunjungi patung-patung pra sejarah seperti Palindo. 

Saat ini kunjungan wisatawan ke lembah Bada masih terbatas pada mereka yang memiliki minat tertentu. Mengenalkan  Fuya dan Kalide kedunia luas bisa menambah referensi tempat-tempat yang wajib dikunjungi bila bertandang ke Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda