Bagi anak-anak muda Poso, musik bukanlah sekedar melahirkan nada-nada yang indah dari suara gitar atau ketukan drum namun lebih dari itu dia menjadi kekuatan yang membangun gerakan kebudayaan untuk mempertahankan alam dan tradisi yang semakin terpinggirkan oleh sistem yang hanya mementingkan kebutuhan industri semata.
Bagi budayawan Poso, Yustinus Hokey, musik adalah alat diplomasi untuk mempertahankan kebudayaan Poso sekaligus mendorong lahirnya kebijakan pembangunan yang lebih berbudaya. Kritik atas pembangunan yang tidak ramah lingkungan disampaikan lewat syair lagu berjudul ‘Danau Adalah Kami’ yang diciptakan grup musik Pedati.
Berikut sepotong syairnya :
Di danau ada laulita nene moyang kami
Di danau ada masa depan anak cucu kami
Danau adalah indentitas kami
Danau adalah kebanggaan kami
Danau adalah kehidupan kami
Danau adalah kami
Adapula lagu berjudul ‘Ode’ milik Temperament Navigasi, grup band Indie di Tentena yang bercerita tentang usaha keras orang-orang di wilayah Pamona bersaudara yang bergotong royong membangun jembatan kayu yang ikonik, Yondo mPamona.
Di Poso dan Tentena, bertebaran musisi-musisi berbakat yang memerlukan ruang untuk berkarya. Salah satu ruang itu adalah festival Mosintuwu, disini para musisi lokal diberi kesempatan mengembangkan diri lewat workshop dan kolaborasi bersama musisi-musisi yang sudah memiliki pengalaman dan jam terbang tinggi seperti Bassist Steven and Coconut Treez Rival Himran dan Adi Tangkilisan gitaris Culture Project.
Baik Rival maupun Adi menceriterakan pengalaman mereka bermusik sejak lepas bangku sekolah hingga sukses dengan band masing-masing seperti saat ini. Kebetulan peserta Workshop adalah musisi-musisi muda Poso yang sebagian besar masih duduk di bangku sekolah.
Mengembalikan Semangat untuk Mencipta
Sesi ini bukan hanya memberikan pengalaman berharga bagi pesertanya. Adi Tangkilisan mengungkapkan dirinya kembali bersemangat melahirkan karya setelah melihat antusias anak-anak muda yang berusaha menimba ilmu dan pengalaman darinya. Diakuinya, pasca bencana Gempa, Tsunami dan Likuifaksi pada 28 September 2018 lalu yang meluluhlantakkan kotanya, Palu, dirinya sempat kehilangan semangat bermusik. Gairah bermusik kembali saat melihat betapa banyak musisi muda yang membutuhkan dirinya.
Dalam Festival Mosintuwu 3 sampai 5 Desember 2018 itu segmen acara musik menjadi salah satu daya tarik. Yang pertama penampilan band-band lokal yang tampil menyanyikan lagu-lagu bertema alam dan tradisi masyarakat Poso dengan aransemen masa kini, kedengaran lebih menghentak dan bertenaga. Kedua ada penampilan Karambanga dari oleh Nardi Banggai, seorang pendidik yang memiliki kedalaman pengetahuan akan alat musik khas Poso yakni Geso-geso.
Puncak festival Mosintuwu tahun 2018 adalah konser musik yang didedikasikan bagi para penyintas bencana Palu Sigi dan Donggala yang kini kerap disingkat PASIGALA. Sejumlah musisi Poso tampil diantaranya, Temperamen Navigasi, Kiki and Friend, Sintuwu Acoustic, Watumpoga’a band dan Ue Puro Band. Selain band lokal ada Modjo Juana dari Bandung dan puncaknya adalah penampilan MAN, band Reagge yang dibesut oleh Rival Himran.
Banyak yang bilang, konser penutupan festival Mosintuwu kali ini sungguh berkesan bagi penonton maupun musisi yang tampil. Mengapa? selain panggung yang artistik, musik baru berhenti lewat tengah malam. Tepatnya pukul 03:25 wita dinihari dan berlangsung hangat ditengah dinginnya kawasan Yosi di pinggir danau Poso.
Tentu banyak yang bertanya, mengapa musisi-musisi yang tampil itu yang dipilih di Festival Mosintuwu. Alasannya sederhana. Mereka memiliki komitmen kuat pada isu budaya dan lingkungan yang tetap dipegang teguh dalam melahirkan karya. Seperti pada tahun 2017 lalu ketika panitia mengundang Robi ‘Navicula’ sebagai bintang tamu. Komitmen dia pada lingkungan yang kuat dan pembelaannya kepada petani menjadi alasannya. Jadi musik dan musisi yang tampil di Festival Mosintuwu memiliki tujuan menyuarakan pelestarian alam, merayakan pengetahuan dan budaya.