“Ohaiyooo” dengan lantang sambil mengangkat kepalan tangan kiri ke atas, Lian Gogali, pendiri Dodoha Mosintuwu berseru. Seruan ini disambut dengan teriakan “Pakaroso!” oleh 50 perempuan pekerja seni yang pagi itu berkumpul di Dodoha Mosintuwu, Tentena, mengawali pertemuan mereka.
Setiap kali memulai semua panel atau sesi bersama Peretas sejak 20 – 25 Maret 2019, teriakan itu menggema memenuhi ruangan berstruktur 80 % dari bambu di tepi Danau Poso itu. Ada semacam daya magis yang menarik setiap orang berada di dalam ruangan untuk menghentikan aktivitasnya dan menyambut seruan tak kalah lantangnya. Semakin berulang, semakin mewarnai dan mengumpulkan setiap orang untuk berkumpul.
Pakaroso, dalam bahasa Pamona salah satu suku di Poso, berarti menguatkan. Dari kata dasar Maroso yang artinya kuat, Pakaroso memberikan makna yang berbeda baik secara filosofi maupun pengalaman penggunaannya.
“Pakaroso berbeda dengan Maroso” Lian Gogali, menjelaskan bagaimana memaknai seruan ini “ Dalam seruan Pakaroso ada makna bersama-sama untuk menguatkan”
Sementara, menurut Lian, Maroso adalah kuat, apapun dan bagaimanapun caranya. Lebih lanjut Lian menjelaskan pemahamannya yang didapatkan dari para tua-tua adat Pamona bahwa Pakaroso adalah saling bekerjasama mencapai tujuan. Usulan menggunakan Pakaroso sebagai kode dalam pertemuan Peretas yang pertama kali ini dimulai saat Naomi, mengunjungi Dodoha Mosintuwu dan bertemu dengan Aliansi Penjaga Danau Poso , pengguna awal seruan Ohaiyo Pakaroso. Para petani, nelayan, buruh dan kelompok perempuan yang bergerak melawan pengrusakan kebudayaan dan lingkungan di Danau Poso, menggunakan Ohaiyo Pakaroso sebagai seruan penyemangat.
“Ohaiyo Pakaroso, selain sebuah kode, adalah juga cara kami memanggil lebih banyak orang Poso untuk bergabung memastikan perlindungan terhadap alam dan kebudayaan Poso” demikian Yombu Wuri, tetua Aliansi Penjaga Danau Poso yang juga menciptakan lagu kayori Ohaiyo Pakaroso.
Dalam sejarahnya, Pakaroso dimulai dari kritik Institut Mosintuwu terhadap bagaimana Pemerintah Daerah menggunakan seruan salam pada pagi, siang dan malam hari dengan menyertakan kata Maroso yang diberlakukan pada semua pegawai hingga anak sekolah. Kata Maroso diletakkan pada pengucapan tiga kali situasi hari . Untuk menyambut salam misalnya “selamat pagi” mereka yang mendengarkannya menjawab dengan kumpulan kata “ pagi, pagi , pagi , Maroso”, sehingga menempatkan kata Maroso menjadi tidak lagi punya makna selain kuat.
Kritik ini diteruskan dalam dialog Aliansi Penjaga Danau Poso ( APDP ). Dalam dialog bersama APDP , ditambahkan ajakan dengan memilih kata Ohaiyo . Ohaiyo yang berasal dalam bahasa Jepang yang berarti selamat pagi ini, diambil alih menjadi bermakna Ayoooo. Makna ayooo bersama-sama ini terjadi dalam banyak cerita lama para orang tua ketika ada sebuah pekerjaan berat yang membutuhkan kerja bersama-sama, maka ajakan dalam teriakan Ohaiyooo menjadi penyemangat utama. Saat Ohaiyooo dilantangkan oleh satu orang untuk mengingatkan semua agar bersiap, pasang kuda-kuda, mengatur nafas, lalu bergerak bersama sambil menyahuti dengan teriakan Pakaroso.
Maka, seruan Pakaroso adalah kode yang menjadi pemersatu gerakan, termasuk Peretas, organisasi perempuan lintas batas yang menghubungkan 50 perempuan pekerja seni dari berbagai daerah di Indonesia.
Pakaroso menjadi kode untuk saling memperkuat diantara perempuan pekerja seni yang punya pilihan ekspresi seni yang adalah para pencipta mulai dari cerpenis, penulis naskah, novelis; penulis karya jurnalistik, pelukis, pematung, komikus, seniman mural, disain grafis, kriya kain tenun, keramik; para penampil baik itu aktor, penari, pesuara; juga para pemusik; sutradara film dan sutradara teater, koreografer, komposer, arsitek, kurator, peneliti/akademisi, guru kesenian, manajer ruang seni, manajer pertunjukan , peneliti, antropolog dan sosiolog, dosen serta aktivis buruh, guru.
“Semangat saling menguatkan adalah roh yang menjiwai peretas berkumpul 01” Kata Naomi. Selanjutnya Naomi menyebutkan, Pakaroso sebagai semangat saling menguatkan akan menjadi sebuah model bersama untuk membaca persoalan kurangnya keterlibatan perempuan secara strategis di ranah seni dan budaya serta masih lemahnya jaringan perempuan pekerja seni di Indonesia.