bagian II Luka Dendam
Memaafkan, Menerima, Sabotase Diri
Banyak orang seringkali menempuh berbagai cara atau mekanisme untuk menumpulkan dirinya sendiri ketika muncul perasaan-perasaan yang terlalu kuat, tak terkecuali perasaan terluka dan dendam. Ada yang mempertahankan gaya hidup gila kerja agar terhindar dari atau mengira dirinya bisa melupakan perasaan-perasaan yang kuat ini. Ada yang makan terus-menerus untuk memampatkan dan mengisi perasaannya, atau membius diri sendiri agar tak sadarkan diri dengan minum-minum atau mengkonsumsi obat-obatan. Yang lainnya menurunkan kesadaran dirinya, karena keadaan sadar begitu menyiksa, dengan menambah jam tidurnya sampai lebih dari batas normal. Begitu kuatnya perasaan marah dan murka, sehingga perasaan-perasaan lain tenggelamlah.
Sabotase diri (self-sabotage), atau merusak atau menggagalkan diri, adalah semacam perilaku disadari atau tak disadari yang menggerogoti kesempatan untuk keberhasilan dan keberhasilan seseorang di dalam hidupnya. Khususnya orang dengan sabotase diri ini punya pola demikian yang berhubungan dengan sejarah pribadi dan keluarganya. Mereka yang bertumbuh kembang dari keluarga yang memiliki ketergantungan zat, kemungkinan akan melakukan sabotase diri dengan mabuk sambil menyetir kendaraan, atau tertangkap karena membawa obat-obatan terlarang. Mereka yang diasuh dalam keluarga yang berkekerasan cenderung akan mudah jatuh menjadi korban kekerasan pada saat dewasa. Mereka yang tumbuh dalam keluarga yang kaya raya tapi tidak bahagia seringkali kehilangan uang, ditipu atau bangkrut karena investasi yang gagal. Sabotase diri terkait dengan insting penyintas untuk menjadi korban lagi (re-viktimasasi) dalam cara meneruskan atau mengulang kekerasan atau salah perlakuan di masa lalu.
Kadang sabotase diri tidak secara langsung ditujukan kepada diri si penyintas tersebut melainkan ke orang yang dicintainya, yang dekat dengannya. Misalnya, penyintas yang sudah dewasa yang dulunya pernah sendirinya mengalami kekerasan seksual dalam keluarganya, akan terkejut ketika mengetahui bahwa anaknya sendiri juga menjadi korban kekerasan seksual dari si ayah (suami si penyintas) atau seorang teman dari keluarga. Dalam kasus ini, perilaku sabotase diri adalah ketidakmampuan si ibu untuk menerima apa yang sedang terjadi dan tidak melindungi anaknya. Ini kemungkinan karena di masa lalunya dia tidak pernah mampu, tidak berhasil, tidak berani mencoba berjuang untuk memperoleh keadilan bagi dirinya, sehingga di masa depannya pun tidak mampu, tidak berhasil, tidak berani mencoba berjuang untuk keadilan bagi dirinya dan diri orang-orang di dekatnya.
Seseorang membagikan pengalamannya: “Di satu sisi, saya terkesan seperti orang yang tenang, selalu lembut, selalu menjaga keseimbangan dalam situasi apa pun (ideal yang pasif). Tapi seringkali, cangkang yang tenang ini akan meledak tak terkendali. Segala rasa luka dan kemarahan yang telah diperhalus akan muncul ke permukaan dalam ledakan kemurkaan. Biasanya akan ditujukan pada sesuatu yang semestinya bisa saya pahami dan terima. Ledakan ini benar-benar acak sifatnya, nampaknya dipancing oleh sesuatu yang remeh, ditujukan pada sesuatu atau seseorang yang sebenarnya tidak layak mendapatkannya. Saya tidak tahu darimana datangnya ledakan ini. Ini adalah sisi agresif saya. Sehingga saya kemudian dicap Bi-Polar (Pasif-Agresif): di satu sisi bisa benar-benar pasif, tapi terkadang agresif tidak tentu dan tidak jelas apa. Bagaimanapun saya tetap berpandangan, sebagaimana saya dibentuk oleh sekitar saya, bahwa sisi pasifku adalah sisi yang baik, dan sisi agresifku adalah semata-mata jahat. Jadi, kapanpun saya akan meledak, biasanya kemudian di dalam diri saya akan terus-menerus diberondong dakwaan yang keras dan kasar. Dengan perkataan lain, saya mendera mental saya, merasa sangat bersalah karena gagal mengendalikan diri. Akibatnya, saya akan merasa sangat tertekan, gagal dan sama sekali tak berharga. Sehingga saya ini entah orang yang sangat tenang atau periang, atau depresif. Tidak di tengah-tengah, tidak imbang, dan tidak mampu mengendalikan situasi.”
Kita mungkin pernah bertanya-tanya, ke manakah gerangan perginya orang-orang yang baik hati? Apa yang sedang terjadi sekarang adalah kita menuai dan menuai apa yang kita pernah tabur. Kita menjadi seperti orang yang kita benci, menjadi mirip dengan orang yang kita takuti. Kita benci pada orang-orang pemarah, dan kita berakhir menjadi orang yang pemarah. Benci pada orang yang membenci dan kita pun menjadi pembenci. Kita benci pada orang yang tidak punya perasaan, dan sekarang kita pun tidak lagi menangis dan tersentuh melihat malapetaka yang menimpa orang-orang. Kita membenci orang-orang munafik, dan kita, dari hari ke hari melakoni peran yang tidak kita sukai. Dan kita pun lupa diri kita yang dulu, diri yang kita inginkan. Kebencian dan kemarahan menjadi sahabat kental kita, menjadi teman seperjalanan. Kita pun membangun tembok tinggi, dan dunia kita pun menciut.
Aku mendapati lirik dari lagu seorang penyanyi perempuan, Paula Cole dalam lagunya “Hard to be Soft”: Di luar sana aku sendirian, dan aku berhasil. Memang, kuat dan keraslah aku harus menjadi. Namun waktu aku pulang ke rumah, bandul pendulumku bergerak di luar kendaliku: aku pasif atau kubiarkan apiku berkobar. Oh, di dunia laki-laki ini, begitu sulit menjadi lembut.
Ya, kita hidup di dunia laki-laki, bukan? Di mana kekerasan adalah jalan dan penyelesaian. Jika seseorang atau suatu kelompok diserang dan disakiti oleh orang atau kelompok lain, maka niat untuk membalas dendam sangat kuat. Jika tidak membalas, diri kita atau orang-orang lain akan menuduh kita terlalu lembek, tidak tegas, pengecut, tidak jantan, tidak mampu membela diri atau keluarga atau kelompok sendiri. (Ingatlah bahwa sifat lembut identik dengan sifat feminin.) Sementara kelompok lawan di seberang sana menjulurkan lidahnya, melambai-lambaikan pantatnya menantang dan menunggu serangan balik kita. Kalau tidak ada serangan balik, maka musuh akan menyerang lagi dengan taktik lebih kejam untuk lebih menggores luka yang lebih parah dan memancing pembalasan kita. Tidak cukup dengan membunuh, kalau perlu mayat yang sudah dikubur pun dibongkar lagi kuburannya dan mayat yang rusak ditinggal begitu saja sebagai puncak simbol penghinaan. Dengan membalas memakai cara yang sama yang dipakai oleh musuh, maka jadilah kita sama dengan musuh kita. Perangkap berhasil. Berikutnya, musuh akan terus memancing setan-setan dalam diri kita supaya pada akhirnya mereka bisa membuktikan bahwa kita memang setan dan oleh sebab itu kita harus diadili dan dihukum sebagai setan oleh orang-orang yang menganggap dirinya tuhan. Dan setan harus dikurung dan diikat di tempat gelap, atau diusir dari surga.
Ssssshhhh, berhati-hatilah… berhati-hatilah… Aku hanya mau bilang: menerima dan memaafkan, atau membalaskan dendam bisa-bisa berujung kehancuranmu sendiri. Berhati-hati dengan setan di luar sana dan terlebih lagi, berhati-hati dengan setan di dalam dirimu.
Memaafkan ataupun tidak memaafkan, dendam maupun tidak, jika aku diperkenankan memberikan saran, pertama kali kau pastikan: engkau tidak sedang menjadi seperti orang yang telah menyakiti hatimu, engkau tidak berbuat seperti perbuatan yang telah menyakiti hatimu.
Lalu bertanyalah pada dirimu sendiri: Apakah kau sedang menggali kuburan untuk dirimu sendiri? Apakah kau secara tak sadar juga sebenarnya sedang menggali kuburan untuk orang-orang yang kau pedulikan? Atau kau sedang membangun tempat perlindungan yang memulihkan untuk dirimu sendiri dan juga untuk orang-orang lain yang juga terluka? Api dendam yang berkobar di dalammu, kau pakai untuk apakah? Untuk bahan bakar kendaraanmu dalam perjalananmu? Apakah api itu juga sebenarnya sedang membakar kendaraan itu sendiri beserta penumpang yang ada di dalamnya, bahkan kendaraan-kendaraan lain di dekatnya beserta penumpang-penumpang di dalamnya?
Karena ada yang bilang begini: “Orang-orang yang tidak punya perasaan telah mengajarkan aku nilai-nilai kebaikan. Orang-orang yang curang telah mengajarkan aku nilai kejujuran. Para diplomat dan politikus telah mengajarkan aku nilai kemurnian.” Ya, kan? Semestinya begitu, kan?
Pemaafan Bukanlah Amnesia (Forgiveness is not Amnesia), Juga Bukan Berarti Berdamai
Si bodoh tidak memaafkan dan tidak melupakan;
Si naif memaafkan dan melupakan;
Si bijak memaafkan tapi tidak melupakan.
~Thomas Szasz~
Dalam film “Imagining Argentina” ada seorang pemeran utama perempuan yang diculik oleh pemerintah yang diktator karena perempuan itu menulis dengan beraninya mengkritk kebijakan pemerintah yang tidak adil. Di dalam tahanan, disuguhkan adegan-adegan penyiksaan yang membuatku merasa jika aku ada di tempat dia, rasanya lebih baik aku langsung mati saja di tempat. Lalu anak perempuannya pun diculik dan ditaruh di tahanan yang sama dengan si ibu. Lalu dibangun rangkaian adegan yang menghancurkan hati ketika si ibu disuruh memilih di antara para tentara, mana yang akan memperkosa anaknya. Di dalam sel, si ibu hanya bisa menganga meneriakkan tangis yang tak bersuara ketika harus mendengar jeritan anak perempuannya yang tengah diperkosa. Dan apa yang dilakukan si ibu? Tiap saat dia bertekad mengingat. Di dalam sel saat dia sedang sendiri, dia memutar lagi adegan per adegan di dalam kepala dan hati ingatannya. Dia ingin merekam dalam ingatannya tiap adegan penyiksaan yang terjadi. Karena dia tidak sudi melupakan. Tidak akan lupa. Lawan lupa. Lupa akan menghentikan perjuangannya. Berhenti berjuang berarti membiarkan kejahatan dan ketidakadilan terus berlaku sebebas-bebasnya di bumi ini. Ketika hari pengadilan datang, ingatan akan menjadi dasar tuntutan, menjadi kesaksian dan pembelajaran bagi segenap umat manusia.
Memaafkan, dalam bahasa Jerman lama ‘forgeban’, artinya: memberi ampunan pada sebuah kejahatan atau perbuatan yang menyebabkan sakit hati; menghentikan pembalasan dendam atau menghentikan tuntutan untuk mengganjar sebuah hutang. Dalam tradisi masyarakat Yahudi, selama 10 hari suci antara Roshashanah (tahun baru) dan Yom Kippur, seseorang harus merenungkan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukannya dan mencoba berdamai dengan hutang-hutangnya dalam hidup. Bahwa orang yang telah berbuat kesalahan tidak boleh ditolak permohonan maafnya asalkan dia sudah membayar hutang-hutangnya dan sudah memohon maaf sebanyak tiga kali. Sehingga, pemaafan tidak dengan sendirinya datang tanpa disertai: pembayaran hutang, dan pernyataan yang tulus akan permohonan maaf. Jika momen ini datang, katanya, ambillah kesempatan ini karena adalah kesempatan langka untuk pemulihan.
Memaafkan, ada yang berpendapat, tidaklah penting. Memaafkan ada di dalam diri sendiri untuk menemukannya. Memaafkan tidak berarti bahwa kita musti berdamai dengan orang yang telah melukai kita. Orang itu mungkin tidak merasa menyesal, tidak berniat minta maaf, atau tidak akan pernah. Dan kita bisa memilih untuk tidak membiarkan dia masuk ke dalam kehidupan kita lagi. Yang menjadi kuncinya adalah penerimaan apa yang telah terjadi terjadilah, dan membebaskan kemarahan dan perasaan terluka kita, mencapai suatu pemahaman bahwa hal itu sudah berlalu dan tidak dapat dirubah, kita melepaskan agar peristiwa itu tidak memiliki dampak permanen pada keseharian kita, pada ke-kini-an kita. Memaafkan memang tidak merubah masa lalu, tapi melapangkan jalan ke masa depan.
Ada yang menyarankan begini: “Seseorang mungkin takut memaafkan seorang yang lain karena ini berarti memaafkan harus juga bahwa dua orang ini berbaikan lagi, ngobrol lagi dan menjadi teman lagi. Jika ini yang membuatmu khawatir sehingga kau segan mengambil langkah pendahulu dalam proses memaafkan, maka kau boleh-boleh saja memaafkan orang ini tanpa sepengetahuan dia. Kau bisa diam-diam maafkan dia dan orang-orang lain tidak perlu tahu. Simpan saja untuk dirimu sendiri dan kau mungkin akan merasa lebih ringan dan lega setelahnya.”
Memaafkan. Apakah artinya kata itu? Sejujurnya aku tidak tahu. Apakah memaafkan berarti menerima permohonan maaf dari orang yang memintanya? Apakah itu berarti menerima dia kembali ke dalam lingkaran hidup kita? Kalau menerima permohonan maafnya saja tapi aku tetap berhati-hati padanya karena tidak bisa mempercayainya 100%, apakah itu berarti aku sudah memaafkan atau belum? Kalau aku dalam hati sudah memaafkan dan melupakan orang itu, walaupun dia tidak pernah minta maaf, apakah itu berarti aku sudah memaafkannya? Kalau aku sudah pernah memaafkan seseorang dan menerima dia lagi ke dalam hidupku, tapi ternyata orang itu tidak berubah dan aku memilih untuk menghapus dia dari hidupku, apakah itu berarti aku sudah memaafkannya? Kalau aku sudah memaafkan seseorang tapi di dalam diriku masih ada ketidakrelaan dan aku jadinya tidak memaafkan diriku sendiri, apakah itu memaafkan? Apakah memaafkan adalah satu paket total yang berisi memberikan maaf, menerima, melupakan kesalahan di masa lalu, dan berdamai dengan pelaku?
Ini bukanlah tulisan perenungan yang mudah bagiku. Menulis ini membuatku sakit kepala selama berhari-hari. Aku sendiri masih dalam perjalananku mengasuh dendam dan amarah yang aku pilih. Berhari-hari ini aku merasa ada daya tarik-menarik di dalam diriku menjalani proses menulis tema ini, ketika ingin berdialog dengan alamku sendiri. Seakan-akan ada bagian di dalam diriku yang bersembunyi tidak ingin ditemukan. Ada bagian yang dengan keras kepalanya menyatakan dirinya dan tidak ingin berubah. Ada bagian yang menyeringai taringnya dan mau terus mencari pembalasan. Ada bagian yang merasa lemah tak berdaya. Ada bagian yang berbisik, “Bebaskan saja…” Bagaimanapun, mereka adalah benih-benih yang ada di dalamku yang sedang bertumbuh dan harus kuperlakukan dengan hati-hati.
Berkali-kali aku merasa tidak tahu harus mulai dari mana; dan ketika sudah memulai, aku meragukan apakah sudah memulainya dengan benar; dan ketika memulai, mau melanjutkan ke mana. Ini melelahkan. Benar, tentang dendam, tidaklah sesederhana yang sering digaungkan dalam khotbah-khotbah agama. Pengalaman orang satu tidak sama dengan pengalaman orang lain. Pendapat satu tidak bersetuju dengan pendapat lain. Aku tidak ingin berkhotbah atau menggurui. Aku pun akan sebal kalau dikhotbahi dan digurui. Aku belum paham ke mana renungan ini akan membawaku dan berujung di mana. Mungkin suatu saat nanti aku kabari lagi bagaimana dan sudah sampai mana perjalananku ini. Atau mungkin, kau ingin mengabari aku? Lakukanlah.
Inilah, para penyandang dendam, yang kurenungkan untuk diriku sendiri. Engkau renung sendirilah. Karena bagaimanapun, ini adalah hidupmu sendiri, benih-benihmu sendiri…
Dengarkan syair lagu Alanis Morissette dalam cuplikan beberapa baris “Eight Easy Steps”:
Mari kuajarkan langkah-langkah mudah untuk bagaimana caranya…
Mengendalikan seseorang untuk jadi fotokopimu;
Tidak mempercayai orang-orang yang semestinya kau paling cintai;
Membenci perempuan padahal engkau seorang feminis;
Bertindak-tanduk alim padahal kau munafik;
Membenci tuhan padahal kau seorang pendoa dan spiritualis;
Mensabotase fantasi-fantasimu dengan ketakutanmu akan keberhasilan;
Tetap tersenyum di saat kau berpikiran untuk bunuh diri;
Tetap bermurung dengan menyalahkan segala hal di luar dirimu.
Margonda, 16 Maret 2011
Catatan:
Banyak dari pandangan dan perspektif dalam tulisan ini disarikan dari para penggemar Paulo Coelho yang ikut urun pendapat dalam blog Paulo Coelho yang bertajuk “To Forgive dan Forget”. Lagu-lagu dan film adalah dari lagu dan film itu sendiri. Tentang Sabotase diri (Self Sabotage) dicuplik dari buku “Manual and Workbook for Adult survivors of child Abuse Who want to move-on with life” produksi The Morris Center (1995).