Memeriksa Kinerja DPRD Poso : Minim Perda Inisiatif untuk Rakyat, Abai isu Perempuan

0
2056
Kongres Perempuan Poso, Maret 2014, yang menghasilkan 135 komitment Perempuan Poso menjadi bagian dari pembangunan perdamaian, budaya, ekonomi solidaritas, partisipasi politik, perlindungan terhadap perempuan dan anak. Dokumentasi : Mosintuwu

Peraturan daerah yang menyangkut anggaran, menjadi topik yang paling menggairahkan pembahasannya dalam persidangan anggota DPRD Kabupaten Poso periode 2014 – 2019. Sementara isu kesehatan, pendidikan, bencana alam, atau bahkan soal lingkungan hidup yang menyangkut kehidupan seluruh masyarakat Poso, masih minim bahkan tidak dibicarakan.

Membentuk, memutuskan, mengawasi pelaksanaan peraturan daerah kabupaten , adalah tugas utama anggota DPRD terpilih dalam proses pemilihan umum. Peraturan peraturan daerah yang diusulkan, diputuskan oleh anggota DPRD idealnya haruslah mewakili suara masyarakat di Kabupaten Poso, baik yang memilihnya maupun yang tidak memilihnya.  Apalagi bukan hanya mengusulkan peraturan daerah, tapi Anggota DPRD Kabupaten Poso juga berwenang membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/wali kota, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. 

Lalu, apa yang dihasilkan 30 anggota DPRD Kabupaten Poso sejak terpilih pada pemilu 2014 silam? Redaksi Mosintuwu mencatat terdapat 5 Peraturan Daerah terkait Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau APBD. Artinya Perda khusus Kabupaten Poso yang dihasilkan oleh anggota DPRD setiap tahunnya hanya Perda APBD, atau perda tentang anggaran Kabupaten Poso.  Data di situs dprd.posokab.go.id  tercatat sejak 2017 sampai 2019  lembaga perwakilan warga Poso ini mengesahkan 14 perda dan 32 keputusan yang diusulkan oleh Pemda. 

Sebagai lembaga yang bertugas membentuk, memutuskan dan mengawasi pelaksanaan peraturan daerah Kabupaten Poso, Anggota DPRD juga bisa mengajukan Perda inisiatif. Ketua komisi I Hidayat Bungasawa , menyampaikan sepanjang tahun 2014 – 2019, anggota DPRD  telah mengajukan setidaknya 5 rancangan perda inisiatif.  Ke lima rancangan perda inisiatif itu adalah Perda terkait CSR, Desa adat, kesehatan gratis, penanggulangan narkotika dan Perda tentang BPD dan perangkat desa. 

Kelima Ranperda Inisiatif ini tidak benar-benar inisiatif dari anggota DPRD tapi merupakan turunan dari setidaknya 8 peraturan yang lebih tinggi, mulai dari UU, peraturan pemerintah sampai keputusan menteri, atau sebuah revisi penyesuaian atas UU atau peraturan yang lebih tinggi.

Baca Juga :  Dokumen Warisan Geologi Danau Poso, Jalan Panjang Menuju Taman Bumi

Misalnya Perda inisiatif terkait kesehatan gratis, adalah Perda  untuk mensinkronkan antara masyarakat yg menerima KIS dan Jamkesda serta masyarakat tg belum terdaftar dalam dua program itu. Atapenanggulangan Narkotika yang isinya adalah pembentukan tempat rehabilitasi narkoba di puskesmas kecamatan. Sementara itu Perda inisiatif berikutnya adalah perda tentang BPD dan perangkat desa ini merupakan penyesuaian atas berlakunya UU NO 6 tahun 2014 tentang desa.

Kemana Arah Perda Inisiatif?

Saat ini, yang sedang dibahas adalah ranperda Corporat Social Responsibility (CSR).  Dengan seabrek peraturan seperti diatas maka bisa dikatakan, perda yang mengatur CSR punya ruang lingkup yang sangat kecil. Menurut Hidayat perda CSR ini nantinya diharapkan menjadi pegangan Pemda dalam menagih CSR dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di kabupaten Poso. Beberapa perusahaan memang mengelola sendiri dana CSR mereka sementara Pemda menjadi penontonnya. Sekali lagi, ini berkaitan dengan kepentingan Pemda dan anggarannya.

Lain halnya dengan Ranperda inisiatif yang diajukan DPRD terkait pembentukan desa adat. Berbeda dengan perda CSR, pembahasan ranperda ini sedikit lebih lambat bergeraknya. Lantas apakah rancangan perda ini bertujuan melindungi komunitas masyarakat desa dan kebudayaannya? Sayangnya, bukannya meneruskan maksud dari UU Desa sebagai undang-undang yang menjadi pertimbangan utama hadirnya renperda ini, perda inisiatif ini ternyata hanya berkaitan dengan pariwisata.

Hidayat Bungasawa mengungkapkan, salah satu tujuan penyusunan perda inisiatif terkait desa adat adalah untuk mengembangkan pariwisata dengan keunikan desa adat. Namun di kabupaten Poso saat ini hanya ada beberapa lokasi yang masih bisa dijadikan desa adat. Di wilayah Pamona , dia mencontohkan Desa Kelei di kecamatan Pamona Timur sementara di tempat lain adalah di lembah Bada dan lembah Napu.

Baca Juga :  Desa, Benteng Kita Saat Pandemi Silih Berganti

Mengacu pada wikipedia, pengertian mengenai desa adat sebagai berikut, Desa adat adalah unit pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat adat dan mempunyai hak untuk mengurus wilayah (hak ulayat) dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan desa adat. Desa adat mempunyai penyebutan yang beragam di berbagai wilayah seperti nagari, huta, marga, dan negeri. Di Kabupaten Poso hingga kini memang belum ada desa adat seperti yang dimaksud dalam pengertian ini. 

JIka ternyata pembentukan Perda desa adat hanya untuk menjadikannya desa wisata tentu ini bisa menjadi diskusi panjang. Sebab biasanya warga di desa yang masih mempertahankan tradisinya melakukan itu karena keyakinan akan keluhuran tradisi mereka yang membawa kebaikan. Adapun jika tujuannya menjadi desa tujuan wisata tentu ini terlihat aneh.

Tahun 2016, Institut Mosintuwu pernah mengajukan usulan Perda terkait isu partisipasi dan kepemimpinan perempuan. Usulan ini disampaikan kepada anggota DPRD dalam hearing atau dalam pertemuan-pertemuan. Bahkan, dokumen Ranperda Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan , disiapkan langsung oleh tim Mosintuwu setelah melalui serangkaian diskusi, workshop dan seminar bersama tim ahli seperti Yando Zakaria yang merupakan tim ahli UU Desa, Kamala Chandra Kirana  aktivis perempuan dan mantan komisioner Komnas Perempuan, dan Paramita , aktivis Pembaharu Desa. Beberapa anggota DPRD Kabupaten Poso ikut hadir dalam serangkaian diskusi yang menguras energi tersebut. Sayangnya, hingga berakhirnya masa jabatan mereka di tahun 2019 ini, isu partisipasi dan kepemimpinan perempuan tidak kunjung dibicarakan atau masuk dalam prolegda.

“Kami menyesalkan sikap dan ketidakkepekaan anggota DPRD Kabupaten Poso terhadap isu perempuan dan kepemimpinan perempuan” ujar Martince Baleona, koordinator pengorganisasian Institut Mosintuwu. “Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa isu kepemimpinan perempuan bukan hal yang penting”

Baca Juga :  Kongres Perempuan Poso : Perempuan Poso Maju, Bersuara, Bergerak untuk Perdamaian dan Keadilan

Selain isu partisipasi dan kepemimpinan perempuan yang diabaikan, isu tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak juga tidak menjadi perhatian anggota DPRD. Hingga saat ini, Kabupaten Poso masih menggunakan Perda nomor 6 tahun 2008 yang tidak memiliki kekuatan memaksa pemerintah memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada korban kekerasan 

Minim Perda Inisiatif, Maksimal Pada Pemanfaatan Anggaran

Berbeda dengan minimnya Peraturan Daerah yang menyangkut kepentingan masyarakat yang dihasilkan, anggota DPRD Kabupaten Poso sangat maksimal dalam penggunaan anggaran.

Tahun 2018 , Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengeluarkan laporan hasil audit terhadap penggunaan APBD kabupaten Poso tahun 2017. Dalam laporan BPK, 23 orang anggota DPRD Kabupaten Poso ternyata menerima uang tunjangan transportasi. Nilai totalnya tidak sedikit. Tanggal 5 Desember 2017 dibayarkan Rp 469.200.000, tunjangan transportasi kepada anggota DPRD  untuk bulan September sampai November 2017. Ini tidak sesuai ketentuan yakni peraturan pemerintah nomor 5 tahun 2007 tentang pelaksanaan hak keuangan dan administrasi pimpinan dan anggota DPRD.  Berdasarkan aturan ini rumah negara dan perlengkapannya serta kendaraan dinas jabatan serta tunjangan perumahan dan tunjangan transportasi tidak dapat diberikan kepada pimpinan dan anggota DPRD secara bersamaan.  Setelah BPK audit mereka akhirnya terpaksa harus mengembalikan masing-masing 20 juta rupiah. 

Bandingkan saat masa kampanye, anggota DPRD yang terpilih memenuhi baliho di jalanan dan mengumbar janji mereka untuk menghasilkan keputusan-keputusan yang berpihak pada masyarakat yang memilihnya. Kata kesejahteraan adalah kata kunci dari banyak janji yang disampaikan oleh calon anggota DPRD . Sesuai dengan wewenangnya untuk membentuk dan memutuskan Peraturan Daerah , maka selayaknya ketimbang melakukan rutinitas dan menerima gaji, anggota DPDR bekerja keras memikirkan Peraturan Daerah yang bisa menjamin kesejahteraan rakyat.

Memilih dalam Pemilihan legislatif 2019 menjadi penting untuk memperhatikan visi setiap calon anggota DPRD terkait Peraturan Daerah ini

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda