Hujan semakin deras, sepuluh anak muda di rumah Kades Dulumai gelisah. Cat-cat nampak masih baru menempel di beberapa pakaian dan celana, menandakan sesuatu masih belum usai.
“Banyak hal yang harus diekspresikan di desa ini” kata Rafika “ tapi waktu kita sempit. Cuaca kurang bersahabat. Sayangnya besok harus pulang ke Surabaya”
Dulumai adalah salah satu desa yang dikunjungi para relawan seniman untuk membuat mural. Selama sepekan, mereka melukis dinding-dinding, jembatan dan tugu di desa Malitu, Pinedapa, Tokorondo dan Dulumai. Ada Ridwan Rau-Rau seniman asal Jakarta, Syska Laveggie dan Rafika dari Surabay, Asmi Sihite dari Jogjakarta, Yoga dari Pontianak. Mereka ditemani seniman mural asal Tentena, Erick Bidu dan anak muda pegiat Mosintuwu yaitu Ishak, Ray, Yeni. Karya yang dihasilkan mengubah ruang publik menjadi lebih enak dilihat dan menanamkan pesan damai, mengajak anak muda menjaga budaya dan alam desa. Dan satu lagi, membangun saling percaya.
“Ini sebuah kehormatan besar bagi seorang seniman untuk bisa datang mengabdikan kemampuan seni untuk sesuatu yang punya nilai budaya Poso” demikian alasan Yoga , ketika ditanya mengapa mau menjadi relawan di Poso.
Senada dengan Yoga, Syska menjelaskan bagaimana seni adalah bagian dari ekspresi perjuangan seseorang. Karena itu bagi Syska datang ke Poso dan membuat mural yang akan digunakan sebagai alat pendidikan kritis adalah bagian dari perjalanan yang berharga bagi seorang seniman.
“Saya sangat senang bisa menjadi bagian dari proyek bersama seniman untuk kampanye kabar baik dari Poso. Seniman harus menjadi bagian dari sebuah kegiatan yang bukan hanya bisa dimiliki tapi juga dinikmati oleh warga, termasuk warga desa” pungkasnya.
Kesungguhan para seniman yang menjadi relawan di Poso hanya dengan melihat tawaran di sosial media Mosintuwu, terekspresikan saat mereka dengan serius menyimak penjelasan dari berbagai warga terkait nilai-nilai budaya dari setiap desa yang dikunjungi.
Di desa Malitu sekarang kita bisa melihat tugu desa berwarna hijau kebiruan dengan motif Poso yang dikerjakan bersama warga. Di Baruga, siapapun yang datang bisa terus tahu apa kekayaan desa, bagaimana kekuatan dan toleransi disini terpelihara lewat dua mural. Mogola, dibuat Yoga, seniman asal Pontianak untuk menggambarkan aktifitas petani membuat gula merah yang kini memiliki beberapa produk turunan seperti gula semut.
Disebelahnya ada lukisan dua perempuan, satu berjilbab,keduanya seperti menyatu. Syska Laveggie, seniman mural asal Surabaya menjelaskan karya itu terinspirasi dari kisah persaudaraan diantara warga beda agama di desa itu yang menunjukkan toleransi dan persaudaraan yang kuat.
Ceritanya, seusai konflik yang terjadi 19 tahun silam. Ada seorang warga Malitu yang beragama Islam meninggal dunia. Saat itu dia sendirian bertahan di desa, tidak ada sanak saudaranya karena masih belum kembali pasca kerusuhan. Jenazahnya lalu diurus oleh warga yang beragama Kristen. Kisah ini menunjukkan tidak ada persoalan apalagi kebencian atas dasar agama ditengah warga saat itu.
Kisah-kisah yang menunjukkan kekuatan warga khususnya perempuan desa dalam menjaga dan membangun kembali hubungan dengan komunitas lain saat dan setelah konflik muncul dalam lukisan bukan hanya di Malitu. Di desa Tokorondo, para nelayan, perempuan, anak muda dan anak-anak turut menggambarkannya di jembatan dan tembok penahan ombak. Mengubah dusun para nelayan itu menjadi hidup dengan warna dari ikan-ikan warna-warni yang pindah ke jembatan dan dinding tanggul.
Seperti di Malitu yang memunculkan kekayaan alam dan kekuatan warganya dalam menjaga persaudaraan. Di Tokorondo, kisah Ibu Sarino, seorang muslimah bersikeras untuk berjualan ikan ke desa-desa yang mayoritas beragama Kristen saat Poso disebut belum aman oleh pemerintah, menginsipirasi lukisan di jalanan pemukiman sepanjang hampir 50 meter. Semangat untuk menyampaikan itu bukan hanya dalam lukisan, tapi keterlibatan para nelayan dan anak-anak muda di Tokorondo yang ikut melukis.
“Apa yang ditunjukkan ibu Sarino adalah nilai saling percaya. Tokorondo dulu saat konflik menjadi salah satu desa yang memiliki sejarah kelam. Dulu saat konflik banyak korban, terutama laki-laki sehingga banyak perempuan menjadi janda. Ini menimbulkan plesetan nama kampung menjadi Toko (tempat) dan Rondo (janda)” begitu Syska menceritakan apa yang pernah dialami warga disana.
Kisah saling percaya juga menjadi modal kuat warga desa Pinedapa untuk hidup bersama. Bayangkan, desa kecil yang diapit desa Masamba, Saatu dan Lape ini dihuni oleh penduduk dengan beragam suku. Ada sekitar 20 suku terkumpul di Pinedapa. Saling percaya juga yang membuat mereka bisa akur. Ada contoh bagaimana saling menghargai di praktekkan disini. Pemerintah desa membuat aturan tidak boleh ada yang menggelar pesta hari Jumat dan Minggu.
Kepala desa Pinedapa, L Ndele mengatakan, jika warga Kristen membuat pesta hari Jumat maka yang beragama Islam tentu sulit hadir, begitu pula jika dibuat hari Minggu, maka yang tidak bisa datang adalah yang Kristen. Disalah satu dinding ditulis nama Pindedapa dengan motif simbol-simbol suku-suku yang mendiaminya. Ada tulisan, Beda Rasa Milik Bersama.
Yeni Tarau, koordinator program Jelajah Budaya menjelaskan tujuan muralini “ Aksi Mural oleh 6 seniman ini menjadi bagian dari Jelajah Budaya Rumah Kita, sebuah kegiatan yang akan diikuti oleh sekitar 200 anak-anak muda Poso”
Nantinya mereka akan menelusuri desa-desa di kabupaten Poso untuk belajar tentang 12 nilai yang dimiliki masyarakat Poso sejak dahulu yaitu, nilai spiritualitas, nilai keberagaman, nilai kesetaraan, nilai keadilan, nilai saling percaya, nilai kesatriaan, nilai kemandirian, nilai solidaritas, nilai perdamaian, nilai kearifan tradisi, nilai kekeluargaan, nilai kesederhanaan. Semuanya adalah nilai-nilai dalam kebudayaan di Poso.