Ungkapan; ‘Poso adalah surganya Heritage’, sepertinya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Kota Poso dengan sejarahnya yang panjang telah mewariskan begitu banyak tinggalan serta tradisi-tradisi budaya yang disebut sebagai warisan / heritage. Sayangnya, saat ini warisan-warisan yang tak ternilai harganya itu terancam keberadaannya. Berita tentang rencana dan terjadinya pemusnahan tempat-tempat bersejarah , menjadi tanda bahwa pemerintah Poso sedang mengidap fenomena ahistoris.
Mengatasnamakan investasi dan pembangunan, saat ini terjadi pemusnahan tinggalan sejarah dan budaya serta pengubahan alur alam yang ada di Poso. Fenomena ahistoris tersebut dimaknai sebagai suatu “Busung Lapar Sejarah”. Penyakit “Busung Lapar sejarah’ atau Honger Oedema memory. Menurut sejarawan JJ. Rizal , busung lapar sejarah adalah suatu kondisi saat elite, yaitu orang yang punya kekuatan untuk membuat kebijakan, bersekutu dengan pemilik modal.
Elite yang terpapar Honger Oedema memory pun tersirat sebagai personal yang memiliki nasionalisme cupet atau sempit dan hidup tanpa wawasan sejarah dan budaya. Tinggalan sejarah, budaya atau heritage termasuk didalamnya alur serta bentangan alam, yang sejatinya harus dipertahankan, justru dimusnahkan guna memenuhi ‘birahi’ elit dan Pemilik modal.
JJ Rizal mengatakan bahwa ketika elit dan modal bersepakat maka tinggalan sejarah, budaya dan heritage akan terancam demi investasi . Katanya “ Modal itu tak perlu histori, modal hanya tahu hari ini dan ke depan. Ia enggak perlu menjual masa lalu, ia hanya menjual mimpi”. Selanjutnya dalam wawancara di Tirto saat peristiwa pembiaran dan pembongkaran rumah-rumah bersejarah di wilayah Jakarta, JJ Rizal mengatakan politisi dan pejabat yang berpandangan dan bersikap ahistoris adalah mereka yang tidak punya wawasan.
“Politisi macam itu tak punya wawasan. Mereka zombie. Enggak punya jiwa. Prof Eko Budihardjo (arsitek dan rektor Universitas Diponegoro 1998-2006) pernah bilang bahwa masyarakat kota tak peduli dengan bangunan bersejarah. Nah, politisi kita itu bagian dari kelompok manusia tanpa jiwa “
Di Poso, Fenomena ‘Busung Lapar Sejarah” para elite di Poso, bukanlah kali ini saja terjadi. Tahun 1978, diagnosa serupa juga tergambar saat pembongkaran Tugu Kemerdekaan yang diresmikan oleh Presiden Soekarno, 4 April 1952, di Bonesompe. Walau penyakit itu sempat mereda di tahun 2008 saat tugu tersebut direvitalisasi, tetapi beberapa tahun kemudian penyakit kronis itu kembali mengganas. Ini ditandai dengan ‘reduksi sejarah’ pada tugu peringatan kematian Reinder Fennema, seorang geologist yang tenggelam di Danau Poso. Tugu kecil yang terletak di pintu masuk kota Tentena ditutup dengan dua patung baru yang tidak diketahui apa maknanya, patung antah berantah.
Hal ini yang terjadi pada situs cagar budaya Watu mPangasa Angga yang terancam karena investasi yang mengatasnamakan penataan sungai. Yang paling anyar adalah Pembongkaran Jembatan bersejarah Yondo mPamona serta rencana pengubahan alur alam danau Poso.
Jembatan Pamona dalam sejarah orang Pamona dikenal sebagai jembatan yang menyimbolkan persatuan suku-suku untuk bekerjasama membangun jembatan. Diceritakan bahwa untuk membangun jembatan tua dari kayu tersebut pada tahun 1950-an, warga dari berbagai kampung bergotong royong selama satu tahun dengan membawa kayu-kayu dari hutan, memancangkan tiang-tiang jembatan dengan menggunakan tenaga manusia. Jembatan dari kayu ini, menjadi simbol apa yang disebut mosintuwu, bekerja bersama-sama orang Pamona.
Jembatan Pamona diketahui dibongkar atas persetujuan dan perintah Bupati Poso berdasarkan MoU kerjasama dengan PT Poso Energy dalam program yang mereka sebut penataan sungai Poso.
Pdt. Wuri , anggota Aliansi Penjaga Danau Poso pernah menceritakan kepada sekretaris daerah Provinsi Sulawesi Tengah, bahwa jika orang tua di Poso mau menceritakan kepada anak cucu mereka tentang apa itu mesale, atau mosintuwu, tidak perlu bercerita panjang lebar, cukup membawa mereka ke jembatan tua Pamona dan menunjukkan buktinya.
Disinilah letak fungsi warisan yang memiliki sejarah. Warisan yang memiliki sejarah memiliki fungsi menyampaikan nilai pada generasi, sehingga mereka bisa belajar dari nilai sejarah tersebut. Dalam Nawacita Jokowi, butir kedelapan menyebutkan “melakukan revolusi karakter bangsa melalui … pengajaran sejarah pembentukan bangsa”. Artinya karakter sebuah bangsa diakui berkorelasi dengan pengajaran sejarah pembentukan bangsa. Jika sebuah bangsa menghancurkan warisan yang memiliki nilai sejarah, akibatnya pada karakter bangsa itu.
Kasus dibongkarnya Jembatan tua Pamona adalah contoh laku para elite di Poso yang menggambarkan, bahwa mereka terdiagnosa sedang digerogoti Honger Oedema Memory atau ‘Busung Lapar Sejarah”.
Entah apa dan berapa lagi heritage yang akan dikorbankan untuk memuaskan hasrat para elit yang terdiagnosa mengidap “Busung lapar Sejarah”?, Semoga saja Penyakit menahun itu segera mendapatkan antibiotik, sehinggaHeritage yang masih tersisa, seperti: Masjid Tua Mapane, Rumah Missionaris Alb. C. Kruijt di Tentena serta beberapa lainnya terus lestari. Termasuk warisan kebudayaan danau seperti wayamasapi, dan mosango. Jika tidak, akibatnya orang Poso akan menjadi generasi yang kehilangan sejarah.
*Ketua Komunitas Historia Sulawesi Tengah