Jelajah Budaya Temukan Jejak Kemandirian di Pasar Desa Salukaia

0
1874
Para penjelajah dari berbagai desa dan sekolah mengunjungi Pasar Desa Salukaia dan menikmati langsung penganan di pasar yang dibungkus dengan daun. Anggota pasar desa Salukaia berusaha untuk meminimalisir penggunaan sampah plastik dalam menjajakan jualannya. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray

Jam 3 lebih 32 menit, Rita dan teman-temannya sudah bangun. Ini bukan bulan puasa. Mereka memastikan tidak akan ketinggalan pengalaman bersama para ibu, nenek penjual di Pasar Salukaia. Ayam belum juga berkokok, suara lolongan anjing di kejauhan bersahutan. Angin segar di halaman belakang rumah menerpa wajah anak-anak muda ini, beberapa melipatkan tangan, kedinginan. Bergantian mereka membasuh wajah dan mencoba membantu ibu penjual pasar yang tampaknya sudah bangun lebih awal dari mereka. 

“Tomat dan rica yang itu dibungkus dengan daun iramakajoko, taruh di keranjang, nanti kalian bisa bawa ke pasar”  kata Enta, seorang ibu penjual di pasar Salukaia sambil menunjuk ke deretan bahan-bahan jualan di dapurnya.

Rita dan teman-temannya bergegas membantu membungkus. Tidak lama kemudian, sebelum jam 4 mereka sudah beramai-ramai berjalan kaki ke pasar. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan anak muda lainnya yang juga sedang membawa berbagai sayuran untuk dijual di pasar. Pagi-pagi sekali, jalanan di Desa Salukaia diramaikan oleh anak-anak muda dari berbagai desa dan sekolah . Mereka bergabung dalam program Jelajah Budaya Rumah KITA yang diorganisir oleh Institut Mosintuwu. Malam sebelum Sabtu, 22 Februari 2020, mereka sudah berada di Desa Salukaia untuk menjelajahi nilai kemandirian khususnya di pasar desa Salukaia. 

Tiba di pasar, beberapa anak muda lainnya sudah membuat api unggun sambil membakar ubi bakar dan duduk melingkar menghangatkan badan. Saling mengucapkan selamat pagi, mereka bercanda tentang pengalaman bangun pagi hari yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan mereka buru-buru ke sekolah. 

“Saya tidak bisa membayangkan ibu-ibu di sini bangun pagi seperti sekarang setiap hari selama bertahun-tahun” ujar Tesa dari Desa Sulewana, kagum .

Bangun sangat pagi untuk ke pasar, bukan satu-satunya yang dikagumi oleh anak-anak muda yang bergabung bersama dalam program Jelajah Budaya Rumah KITA. 

Baca Juga :  Nadi Berdetak, Desa Poso Kelola Hasil Bumi

“Biasanya di pasar kita ketemu kantong plastik untuk tempat jualan. Di sini, kita baru kenal jenis-jenis daun yang bisa dipakai untuk membungkus makanan yang kita jual atau beli “ kata Nabilla. 

Nabila menunjukkan daun yang kemudian dikenalnya sebagai iramakajoko yang digunakan untuk membungkus rica dan tomat, lalu daun silar yang digunakan untuk tempat makan. Pasar Desa Salukaia yang dikelola oleh kelompok perempuan dan diorganisir oleh Institut Mosintuwu sejak tahun 2017, memang bersepakat untuk meminimalisir penggunaan plastik. Kesepakatan untuk hanya menyediakan daun pembungkus ini mendesak para pembeli untuk membawa sendiri tas belanja mereka. 

Pingku, wadah dari daun silar. Selain sebagai wadah bahan pangan juga bisa digunakan untuk tempat minum. Foto : Dok. Mosintuwu/Lian

Kemandirian dari alam desa

Menggunakan bahan dari alam sebagai alat membungkus adalah salah satu nilai kemandirian yang dipegang oleh ibu-ibu di Pasar Desa Salukaia. Agar tidak menggunakan plastik yang punya arti kita mengabaikan alam dan bergantung pada plastik yang justru merusak alam. Menurut Yeni, salah seorang inisiator pasar, alam sudah menyediakan yang dibutuhkan manusia. Termasuk kebutuhan makan dan minum. Jika kita menghargai apa yang disediakan oleh alam, maka kita akan membangun kemandirian hidup dari alam. 

Penghayatan atas kemandirian hidup bergantung pada alam ini juga yang melatarbelakangi munculnya pasar Desa Salukaia.

“Dulu, sebagian besar warga untuk bisa makan sayur, masih bergantung pada penjual sayur yang lewat  atau biasanya kami panggil mas-mas sayur. Padahal belum tentu sayuran atau rempah yang dijual itu bebas pupuk “ cerita Yeni pada para penjelajah yang rata-rata pelajar Sekolah Menengah Umum ini. Para ibu pasar bergantian menceritakan asal muda pasar desa Salukaia, dan bagaimana hidup mereka berubah. 

Cara hidup ini berubah dimulai bulan April 2017.  Paska mengikuti kelas sekolah perempuan Mosintuwu, mendata hobi dan bagaimana hobi bisa menghasilkan kehidupan, sekelompok perempuan di Desa Salukaia memulai pasar organik . Awalnya beranggotakan 10 orang dengan menggunakan 2 meter meja yang diangkut dari halaman rumah Kades ke tepi jalan.  

Baca Juga :  Sawah Terendam : Ada Potensi Pelanggaran HAM dan Kerusakan Ekologi

“Biasanya hasil bumi ini busuk di kebun atau di rumah, bahkan dibagi sama tetangga juga tidak habis” demikian saat itu yang terjadi. Karena tidak percaya diri bahwa hasil bumi yang mereka jual di pasar akan laku, para ibu menerapkan konsep barter atau saling berbagi. Jika hasil bumi yang dijual tidak laku hari itu, mereka akan saling tukar satu sama lain. 

“Nanti kalau sayur selada air tidak habis, saya tukar dengan labu, boleh?” Demikian percakapan di dalam pasar yang terjadi pada tahun 2017.

Saat itu, mereka mulai saling merencanakan sambil tetap berharap jualan mereka bisa tetap laku dari pembeli lainnya. Semua hasil bumi yang dibawa dan yang dijual tercatat untuk menjadi bagian dari analisis ibu-ibu tentang kebutuhan hasil bumi oleh masyarakat di sekitarnya. Pasar dijaga secara bergantian oleh ibu-ibu, agar aktivitas lain di kebun dan di rumah bisa tetap dilakukan, sehingga meskipun tidak sempat menjaga pasar, hasil bumi mereka bisa tetap dijual. 

Tahun 2018 hingga saat ini Pasar Desa Salukaia berkembang peminatnya. Meskipun pasar tetap hanya dibuka pada hari Rabu dan Sabtu sejak subuh hari, masyarakat di wilayah Pamona Barat sudah mengenal pasar desa ini. Keyakinan untuk membeli di pasar desa Salukaia bukan saja karena harganya yang sangat murah tapi juga karena apa yang dijual ditanam dan dirawat sendiri oleh warga desa. Tanpa pupuk kimia alias organik. 

“Saya menjaga satu hutan kecil di dekat desa, untuk bisa jual sayur pakis” cerita Eta, salah seorang ibu penjual sayur.

Hasil dari penjualan di pasar desa digunakan untuk membiayai kebutuhan rumah tangga sehari-hari, termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Anggota pasar Desa Salukaia bahkan mengembangkan tabungan pasar untuk menabung hasil kerja mereka yang sewaktu-waktu bisa digunakan. 

Baca Juga :  Satu Milyar Bangkit PosoOne Billion Rising Poso : Peace Dance

Puas  mengikuti langsung bagaimana para ibu memulai pasar di subuh hari, para penjelajah budaya ini merasakan langsung bercocok tanam. Tanah seluas 2 are dikerjakan bersama para ibu-ibu. Praktek bekerja bersama di jelajah budaya adalah salah satu konsep yang ditawarkan agar para penjelajah bukan hanya menikmati dan mendengarkan nilai tapi juga merasakan pengalaman atas nilai yang ada.

“Ini pengalaman pertama saya mencangkul dan menanam jagung langsung di desa” salah satu anak muda berkomentar. 

Pasar Desa Salukaia memberikan pemahaman sangat mungkin menciptakan kemandirian dengan bergantung pada alam. Menanam bersama menjadi pengalaman yang ingin menjangkau pemahaman anak muda tentang kemandirian yang disediakan oleh alam tapi membutuhkan kerja keras. Pada akhir jelajah, para penjelajah bersepakat dalam kampanye bersama anti plastik dan membawa sendiri kantong belanjaan.  Sambil memegang tas belanja pasar desa Salukai mereka menyerukan “ Stop tas plastik, bawa sendiri tas belanjaanmu”

Pasar Desa Salukaia adalah satu dari 12 titik nilai jelajah budaya rumah kita yang bertujuan untuk memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan Poso pada anak muda Poso. Di Pasar Desa Salukaia, para penjelajah belajar nilai kemandirian. 11 titik nilai yang lain yang akan dijelajahi adalah nilai Spiritualitas dan Kemanusiaan di Kelurahan Mapane , nilai keberagaman di Desa Pinedapa, nilai Kesetaraan dan keadilan di Mosintuwu, nilai membongkar prasangka di Desa Tokorondo, nilai kemandirian di Desa Salukaia, nilai Solidaritas di Desa Malitu, nilai kearifan tradisi di Desa Dulumai, nilai kekeluargaan di Kelurahan Pamona khususnya situs Watumpoga’a,  nilai kesederhanaan di  Wayamasapi, dan nilai perdamaian pada cerita-cerita perdamaian orang Poso. 

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda