Warga Poso Berlebaran di Tengah Bencana

0
1729
Mesjid di Tentena. Paska konflik kekerasan di wilayah Kabupaten Poso, mesjid ini sudah aktif melantunkan azan sejak tahun 2006. Foto : Mosintuwu/Eko

“Banyak anak yang sempat bosan di rumah, selama puasa di rumah, pas lebaran juga tidak boleh kemana-mana.

Irma, warga muslim Desa Tokorondo, kecamatan Poso Pesisir Kabupaten Poso menceritakan suasana lebaran tahun ini yang sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di tahun-tahun sebelumnya, Irma sudah menjadwalkan mengunjungi keluarganya selama dua hingga tiga hari. Tahun ini, protokol kesehatan membuat Irma dan  keluarganya hanya mengunjungi ibunya saja. Itupun tidak lagi berlama-lama di rumah, menghindari pelukan dan jabat tangan serta menggunakan masker. 

Meskipun dalam kondisi yang sangat terbatas ruang gerak, Irma dan keluarganya tetap bersyukur . 

“Tidak ada tarawih pas Ramadhan, tidak ada kembang api pas idulfitri. Tapi kita tetap harus bersyukur karena masih bisa melewati satu bulan puasa dan merayakan idulfitri di rumah. Bayangkan yang lainnya tidak bisa pulang kampung, atau dalam keadaan status positif” 

Senada dengan Irma, Ustad Ibrahim tokoh muslim Poso yang juga sekretariat Komda Alkhairat Poso menyebutkan bahwa Ramadhan dan Lebaran 1441 Hijriah memang sangat berbeda tapi sekaligus punya makna yang kuat karena solidaritas . Katanya :

“Rahmadan dan Lebaran di tengah pandemi ini justru semakin mendekatkan kita dengan sang Maha Pencipta, dan semakin menumbuhkan kesadaran beragama kita, dan menguatkan solidaritas antar sesama manusia”

Sama seperti di tempat lainnya di seluruh Indonesia bahkan seluruh dunia, perayaan lebaran idul fitri yang dirayakan umat Islam tahun ini sangat berbeda. Apalagi, Kabupaten Poso masuk dalam zona merah penyebaran Covid-19 . Gubernur Sulawesi Tengah menghimbau agar mesjid di wilayah Kabupaten Poso , Kota Palu dan Buol tidak menggelar sholat Ied karena termasuk zona merah dan orange. Kedua zona ini disematkan karena jumlah kasus positif Covid-19 tergolong tinggi. 

Baca Juga :  Api Kartini Perempuan PosoKartini's Fire of Poso Womens
Beberapa keluarga memiliki melakukan sholat Ied di rumah, mengikuti anjuran Pemerintah. Foto : Dok. Istimewa
Beberapa keluarga memilih melakukan sholat Ied di rumah, mengikuti anjuran Pemerintah. Foto : Dok. Istimewa

Mesjid Raya Poso, mesjid terbesar di Kabupaten Poso menutup akses mesjid untuk sholat Ied. Lapangan Sintuwu Maroso yang berhadapan dengan kantor bupati yang biasanya digunakan ribuan warga untuk sholat Ied di tahun-tahun sebelumnya, nampak sepi. Ustad Ibrahim sekretaris Komda Alkhairat Poso bersama dengan keluarganya mengikuti anjuran pemerintah dengan mengadakan sholat Ied bersama di rumah. 

Namun, warga di beberapa desa termasuk kota Poso  beberapa mesjid di Poso misalnya mesjid RT 9 Kelurahan Sayo dan mesjid Nuruf Jihad di Toyado tetap menggelar sholat Ied di mesjid mereka. Mengikuti protokol pencegahan Covid-19, warga yang mengikuti sholat Ied menggunakan masker. Mesjid-mesjid ini menyediakan tempat mencuci tangan di pintu masuk mesjid untuk seluruh warga.  Mesjid RT 9 Kelurahan Sayo,  melaksanakan sholat Ied dengan menyediakan tempat cuci tangan. Di  Desa Toaya, warga yang akan mengikuti sholat Ied diwajibkan menggunakan masker dan mencuci tangan sebelum masuk mesjid. Mereka yang tidak menggunakan masker tidak diijinkan masuk di dalam mesjid.  Di kewajiban menggunakan masker . Sementara itu, di Desa Tokorondo, ibu Irma  bersama keluarga dan warga muslim  lainnya mengikuti sholat Ied di lapangan desa dengan menjaga jarak 1 meter antara satu dengan yang lain. 

Baca Juga :  10 Tahun Mosintuwu : Membangun Gerakan tanpa Amplop dan Uang Duduk

Warga muslim di Tentena yang tidak bisa pulang ke kampung menggunakan fasilitas internet untuk melakukan silaturahmi dengan keluarga mereka. Sayangnya tidak semua berjalan dengan lancar. Opi, salah satu warga muslim yang tidak bisa pulang ke wilayah Palu membutuhkan waktu 1 jam hanya untuk mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri ke keluarganya karena jaringan internet yang buruk. 

Warga di Desa Toaya sholat Ied di mesjid dengan menggunakan masker. Foto: Dok. Istimewa
Warga di Desa Toyado, kecamatan Lage sholat Ied di mesjid dengan menggunakan masker. Foto: Dok. Istimewa

Berlebaran di tengah Bencana

Pandemi bukan satu-satunya persoalan yang dihadapi warga di lebaran kali ini. Sebelum lebaran, warga mengalami banjir bandang akibat meluapnya sungai Moko yang membuat banyak kebun yang menjadi sumber penghidupan warga rusak digerus arus sungai yang deras. Sebelum itu, sebagian warga yang memiliki kebun di bukit sebelah barat kampung juga banyak yang sudah tidak terolah karena soal keamanan.

Bukan hanya tidak bisa mengolah kebun. Upaya warga menghindarkan diri dari Corona dengan tinggal di kebun juga tidak bisa dilakukan. Asni, seorang warga desa Tangkura mengatakan, pada akhir Februari lalu, mereka sudah bersiap-siap tinggal di kebun untuk beberapa waktu sampai wabah Corona mereda. Namun kondisi keamanan pasca pembunuhan 2 petani di desa Kilo membuat mereka urung untuk tinggal sementara di kebun.

Serli, salah seorang ibu rumah tangga di Tangkura mengatakan. banjir yang terjadi awal Maret 2020 itu membuat satu-satunya kebun milik mereka hilang karena longsor. Kini dia bersama suaminya harus memikirkan pekerjaan lain untuk mendapatkan penghasilan. Suaminya bekerja sebagai buruh bangunan. Namun saat pandemi Covid-19, banyak proyek dihentikan bahkan dibatalkan. Akibatnya, suami Serli tidak bisa mendapatkan pekerjaan.

Baca Juga :  Lingkaran Perempuan untuk Masa Depan Damai dan Adil

Upaya pemerintah mengurangi beban warga lewat program Bantuan Langsung Tunai atau BLT baik dari Kemensos maupun dana desa juga tidak bisa dirasakan Serli dan keluarganya. Dari sekitar 900 kepala keluarga yang ada di desa Tangkura, masih ada sekitar 118 kepala keluarga yang belum mendapatkan bantuan apapun termasuk Serli. Padahal mereka adalah keluarga yang terkena dampak Covid-19 dan banjir sekaligus.

Selain Serli, sejumlah petani padi ladang di desa Tangkura dan Sangginora mengalami bencana setelah sekitar 4 hektar sawah tadah hujan mereka terbawa longsor pada awal Maret 2020. Panen yang sudah siap di panen itu hilang. Asni, mengatakan, padi itu selain untuk dijual merupakan bekal untuk hidup selama 6 bulan kedepan. Kini mereka tidak bisa mengolah lahan itu lagi. Selain milik warga Tangkura, sawah-sawah yang rusak itu milik sejumlah petani asal desa tetangga seperti Betalemba dan Patiwunga.

Para petani ini selain mengolah sawah tadah hujan, sebenarnya juga memiliki kebun kakao. Namun para petani di wilayah kecamatan Poso Pesisir Selatan tidak berani mengolah kebun mereka yang ada di hutan sebelah barat desa setelah adanya peristiwa pembunuhan 2 petani di desa Kilo  pada bulan Februari 2020 lalu. Akibatnya sumber utama pendapatan petani berkurang drastis. Banyak yang akhirnya menjadi buruh di perkebunan atau buruh bangunan diluar kabupaten Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda