“Yang kita perlukan itu menanam. Jadi harus terus menanam”(Elpius Lapandano/kepala desa Malitu)
Hoo..hoo..hoo..huu…huu…hooo… suara berirama saling bersahutan memecah wilayah perbukitan yang sudah dibersihkan . Suara berirama berasal dari sekelompok orang ( mayoritas laki-laki ) sambil berjalan searah jarum jam, menggunakan kayu yang runcing di bagian ujungnya menancapkannya ke tanah. Di bagian belakang , sekelompok perempuan mengikuti irama itu dengan tangan cekatan mengisi lubang yang ditinggalkan oleh kayu runcing dengan benih padi. Seluruh wilayah bukit riuh rendah dengan suara berirama kelompok laki-laki dan cerita, canda tawa di antara kelompok perempuan.
Mompaho, demikian warga Desa Malitu, Kecamatan Poso Pesisir Selatan menyebutkan aktivitas hari itu. Ditengah individualisme yang semakin merusak alam dan menyisihkan kebersamaan, ada yang sampai saat ini masih bertahan. Mompaho, salah satunya. Tradisi menanam padi ladang oleh petani yang masih berlangsung di desa Malitu kecamatan Poso Pesisir Selatan.
Desa ini berjarak sekitar 21 kilometer dari ibukota kabupaten Poso. Butuh waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam berkendara sepeda motor untuk sampai, melewati hutan dan kebun-kebun kakao. Jalan beraspal yang lebarnya kurang lebih 4 meter yang kita lewat relatif baik meskipun dibeberapa titik rusak, berlubang.
Mompaho dilakukan pada setiap awal memasuki musim hujan . Kami mengikuti tradisi Mompaho di Malitu pada awal bulan Februari 2020. Sejak pagi, puluhan warga desa Malitu, kurang lebih 50 orang berkumpul di sebidang lahan berbukit yang luasnya kurang lebih 1 hektar yang sudah dibersihkan. Masing-masing membawa kayu yang ujungnya runcing. Itu adalah senjata untuk Mompaho. Kayu yang ujungnya runcing saat ditancapkan pada tanah dalam aktivitas Mompaho disebut menugal. Dua karung bibit diletakkan di tengah lahan yang akan ditanami. Sebelum benih pertama dimasukkan, seorang tokoh agama memimpin doa dan memulai hujaman kayu runcing pertama ke tanah. Lalu semua mengikuti. Sebagian mengambil peran mengisi lubang dengan bibit.
Ho..hoo.hoo..huu..huu..huu..hooo.hoo..huu…huu suara berirama dari mulut para petani yang berjalan berputar berlawanan dengan arah jarum jam sambil menghujamkan tongkat ke tanah. Lubang-lubang hujaman tongkat sekitar 10 sentimeter itu diisi dengan bibit yang merupakan hasil panen sebelumnya.
Elpius Lapandano, kepala desa Malitu mengatakan, filosofi menanam sambil berjalan berputat itu memiliki makna bahwa hidup ini berputar sampai nantinya kita kembali pada titik semula. Saat menanam dengan gerakan berjalan memutar, para petani mengeluarkan suara-suara berirama ho ho ho, atau hu hu hu bersahut-sahutan .
Saat tongkat pertama ditancapkan di tanah , para petani tidak berhenti mengeluarkan suara-suara berirama sambil terus berjalan memutar. Iin Hokey, seorang pemerhati Budaya Poso menyebutkan bahwa irama tersebut adalah seruan penyemangat untuk tidak berhenti menanam. Tidak ada nada capek dalam seruan berirama tersebut padahal suara berirama ini baru berhenti ketika seluruh wilayah atau bukit yang akan ditanami selesai ditugal ( dilubangi dengan kayu runcing ).
Semangat yang dilahirkan dalam Mompaho berkontribusi membuat warga Malitu tidak kekurangan pangan meskipun desa ini tidak memiliki areal persawahan luas. Sebagian besar petani menanam kakao dan mengusahakan pohon aren menjadi gula semut dan gula merah. Ada pula yang mencari rotan dan daun Nibong sebagai sampingan.
Bukan hanya berkontribusi pada pangan desa, mompaho juga menjaga solidaritas warga desa. Saat mompaho, warga desa yang punya ladang akan bergantian membantu di ladang orang orang. Mesale, demikian sebutan sistem kerja gotong royong ini. Semua petani yang datang membantu di ladang melakukannya dengan sukarela, tidak dibayar. Tuan rumah alias pemilik ladang hanya perlu menyiapkan makan siang buat yang datang membantu .
“Tradisi ini hidupnya orang Malitu. Sejak anak-anak kami diajarkan dan ikut melihat dan ada di saat mompaho” cerita Dewi, salah satu pemudi di desa. Mama Dewi membenarkan bahwa tradisi mompaho adalah tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan orang Malitu. “Kita harus terus menanam , karena itu bisa menenangkan hidup kita” ujarnya.
Menyaksikan tradisi Mompaho yang dilakukan di Desa Malitu, saya merasakan bahwa pekerjaan bertani ladang ini adalah sebuah keriangan bagi warga. Bertani ladang dengan sistem mompaho seperti melihat tarian artistik di panggung alam.