Baku Tukar Motor, Pohintuwo Lembah Bada di Masa Pandemi

0
1445
Martince kunjungi Lore
Martince, koordinator pengorganisasian Institut Mosintuwu dalam kunjungan ke Lore Selatan dan Lore Barat di masa pandemi Covid-19. Desa-desa di Lore Selatan dan Lore Barat bergabung dalam kelas Sekolah Pembaharu Desa yang diorganisir Institut Mosintuwu. Foto : Dok.Mosintuwu/Martince

Lembah Bada bukan hanya soal patung Palindo yang terkenal seantero dunia karena misterius. Tapi juga gaya hidup saling membantu antar warga, apalagi di masa pandemi Covid-19. Lima bulan sejak diumumkannya Covid-19 sebagai bencana nasional, wilayah ini merespon bukan hanya secara struktural dengan kehadiran posko Saling Jaga cegah Covid-19, tapi juga hal-hal praktis di kehidupan sehari-hari. Berada di wilayah cukup jauh dari kota , Lembah Bada yang secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Lore Selatan dan Lore Bada mengajarkan saya soal nilai sosial warga.

Di awal bulan Juni, musim hujan membuat banyak jalan di wilayah Lore Selatan dan Lore Barat longsor. Daerah ini memang langganan longsor, beberapa kali harus menyebabkan jalanan tutup karena longsoran atau kayu besar yang melintang. Jika longsor terjadi, banyak warga yang harus putar balik tidak jadi meneruskan perjalanan. Apalagi, peralatan yang bisa mengangkut longsoran atau membuka jalan tidak selalu tersedia setiap hari. Melakukan perjalanan ke Lembah Bada, begitu nama wilayah ini dikenal orang, perlu menimbang resiko ini. 

Begitu juga yang terjadi saat kami melakukan perjalanan untuk Posko Saling Jaga dan Sekolah Pembaharu Desa di Lore Selatan dan Lore Barat. Longsor terjadi, jalanan tertutup . Mobil kantor diparkir di pinggir jalan. Kami berjalan 7 km sambil membawa logistik. Dua hari di Lore Selatan dan Lore Barat kami membawa misi untuk logistik posko saling jaga , dan buku-buku untuk perpustakaan keliling . Keduanya diorganisir oleh Institut Mosintuwu.

Baca Juga :  MoU Kuatkan Kajian, Penelitian dan Penyebaran Nilai-nilai Perdamaian di Tana Poso

Setelah menjalankan misi, saat akan kembali, jalanan masih longsor. Anehnya, saya tidak melihat  warga yang putar balik.  Setiba diseberang wilayah longsoran saya bertemu ibu Serli. Saya kaget, karena ibu Serli dan saya sama-sama berangkat dari Desa Kageroa Kecamatan Lore Barat untuk ke Desa Gintu Kecamatan Lore Selatan.  Kekagetan saya karena ibu Serli menggunakan motor , padahal sebelumnya motornya diparkir. 

Ibu Raru, fasilitator Sekolah Pembaharu Desa yang ikut bersama saya melihat kebingungan itu dan menjelaskan :

“ Di sini orang saling percaya untuk gunakan motor orang lain. Misalnya ibu Serli tadi bawa motor dari rumah, motornya diparkir di pinggir jalan. Menyebrang longsoran, begitu tiba di sebrang ibu Serli bisa gunakan motor orang lain yang ada di seberang “

Saya tambah bingung . Bagaimana bisa mempercayakan motor kita pada orang lain, bagaimana kita tahu siapa yang membawa motor kita?

“ Mudah sekali” cetus ibu Raru sambil tersenyum

Ibu Raru kemudian bercerita hal yang juga dilakukannya. Mereka yang harus bepergian menggunakan motor tapi terhalang dengan longsoran akan menyimpan motornya di pinggir jalan, dengan meyakini bahwa di seberang jalan akan ada motor lain yang bisa digunakan dari orang lain yang juga tidak bisa menyebrangkan motornya. Mereka yang tidak bisa menyebrangkan motornya bisa saling tukar kunci untuk menggunakan motor tersebut. Ini dilakukan bukan hanya satu dua orang tapi oleh warga desa di lembah Bada ini.  Dengan begitu, semua aktivitas yang direncanakan bisa terus berjalan. Saya tertegun dan tidak hentinya bersyukur bisa melihat langsung dan belajar bagaimana orang di desa selalu saling membantu. 

Baca Juga :  Berteologi Kontekstual Pembebasan dalam Kemiskinan

Tidak jelas siapa yang memulai metode saling menukar motor ini. Yang jelas, menurut ibu Raru mekanisme itu ditemukan bersama-sama warga karena saling percaya dan saling membutuhkan. 

Peristiwa saling menukarkan motor bukan satu-satunya cerminan gotong royong warga di lembah Bada. Dalam bahasa Bada salah satu suku di Poso, gotong royong disebut juga Pohintuwo. Kata ini memiliki makna yang sama dengan Mosintuwu, yakni bekerja bersama-sama tanpa pamrih.

Memastikan agar Covid-19 tidak masuk di wilayah lembah Bada, warga bergiliran melakukan penjagaan pos jaga . Mereka tidak dibayar seperti halnya posko lainnya di desa.  Warga masyarakat desa bergabung dgn Posko Saling Jaga bersama-sama dengan pemerintah desa. 

“ Tim memang harus bergantian jaga siang dan ronda malam untuk mengawasi dan membubarkan kerumunan warga “ cerita ibu Serli. “ Setiap warga yang akan keluar dari desa atau yang akan masuk ke desa harus disterilkan dan dipastikan punya pengetahuan untuk cegah penularan Covid ini. Kalau satu tertular, nanti berakibat yang besar” lanjutnya.

Baca Juga :  Mendorong Penetapan Warisan Geologi Danau Poso, Melindungi Sejarah dan Situs Geologi

Pohintuwu sudah menjadi gaya hidup masyarakat sehari-hari di Lembah Bada. Saat seseorang akan melangsungkan pernikahan, warga satu kampung akan datang membantu memberikan sumbangan tenaga untuk mendirikan tenda atau memasak. Beberapa membawa bahan masakan. Begitu juga saat ada peristiwa kematian. Warga saling tergantung satu sama lain . 

Saya tidak pernah kuliah. Pendidikan formal tertinggi saya hanya di sekolah menengah umum. Tapi saya mempercayai apa kata orang bahwa pengalaman adalah guru yang paling berharga. Saya juga meyakini belajar tidak selamanya diperoleh di bangku sekolah atau kuliah.  Belajar bisa dilakukan dimana saja tidak terbatas ruang dan waktu.  Pengalaman saya berjalan keliling desa-desa mengajarkan saya, kalimat itu bukan omong kosong atau kata-kata kosong .

Dalam perjalanan mengorganisir sekolah pembaharu desa yang diinisiasi oleh Institut Mosintuwu, saya belajar bagaimana warga desa mempraktekkan semboyan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar warga yang saya temui tidak menghapal urutan Pancasila, tapi mereka melakukan nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman saya dengan longsor dan motor yang saling ditukarkan di Lembah Bada adalah guru tentang nilai solidaritas warga.

Penulis : Martince Baleona

Editor : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda