“Sudah satu bulan ini penghasilan kami tidak ada. Satu ekor ikan pun tidak ada karena air sudah kabur. Biasanya dalam satu malam hasil yang didapatkan lumayan untuk hidup kami. Niat kami disini hanya mencari solusi dari perusahaan saja, untuk mengembalikan kondisi sumber mata pencaharian kami. itu intinya”(Yostin Tarindje/istri To Ponyilo)
Sudah dua pekan terakhir para nelayan di muara danau Poso, biasa disebut to Ponyilo dan to Porono tidak bisa lagi turun mencari ikan dan Rono. Sebuah kapal keruk berlabuh di tengah-tengah mulut danau Poso, tempat para nelayan mencari ikan setiap hari. Dari badan kapal, sebuah pipa plastik berdiameter kurang lebih 30 cm mengular mengikuti aliran air sejauh kurang lebih 2 kilometer. Pasir yang dikeruk dialirkan melalui pipa ini ke kawasan Kompo Dongi dimana ratusan ribu kubik pasir itu nantinya akan jadi material timbunan. Kompodongi sendiri merupakan wilayah lindung sesuai dengan peraturan daerah RTRW nomor 8 tahun 2012.
To Ponyilo adalah cara menangkap ikan (termasuk Sidat) dengan menggunakan lampu penerang di malam hari. Adapun to po Rono, adalah nelayan yang menangkap Rono (ikan Teri) dengan menggunakan lampu penerang juga pada malam hari.
Akhirnya, para nelayan ini memutuskan melakukan aksi pendudukan terhadap kapal Keruk sebagai bentuk protes atas hilangnya sumber mata pencaharian yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. Aksi damai ini diikuti istri dan anak-anak para nelayan.
Yostin Tarindje, salah seorang perempuan yang ikut aksi itu mengatakan, ikut aksi itu menunjukkan pentingnya wilayah danau ini bagi kehidupan mereka. Sebagai seorang ibu rumah tangga pula, Yostin paling mengetahui bagaimana kondisi dapur mereka bila tidak ada ikan yang bisa ditangkap dan dijual.
Di tengah kondisi ekonomi yang semakin berat saat pandemi seperti saat ini. Beban Papa Devi, sebagai To Ponyilo untuk menghidupi keluarga semakin berat pula. Karena itu Papa Devi mengatakan, dia bersama sekitar 16 nelayan lainnya terpaksa melakukan aksi protes hari Senin 11 Agustus 2020 itu untuk menyuarakan nasib mereka, agar didengar oleh pemerintah. Upaya mempertanyakan bagaimana nasib mereka karena sudah bisa menangkap ikan sudah dilakukan.
Papa Devi mengatakan, dia bersama nelayan lainnya sudah menanyakannya kepada pemerintah, apa solusi terhadap mereka yang sudah tidak bisa lagi mencari nafkah sebagai nelayan. Mereka juga mmpertanyakan persoalan itu ke perusahaan.
“Setelah menunggu beberapa hari dan tidak ada solusi yang jelas. Kami putuskan, bikin aksi ini. Kami sudah menyampaikan rencana kegiatan aksi kami mulai dari pemerintah sampai kepolisian. Kami pasti tidak akan anarkis”kata papa Devi.
Saat aksi, Papa Devi, mengajak anak istrinya ikut untuk menunjukkan betapa serius persoalan yang sedang mereka hadapi. “Kami bawa anak dengan istri, mau kasi tau, kalau kalian merusak wilayah ini, istri dan anak kami mau makan apa?”
Marten, nelayan to po Rono. mengatakan, aktifitas kapal keruk di malam hari membuat alat tangkap Rono miliknya tidak bisa berfungsi lagi. Sebab cahaya lampu petromaks miliknya kalah terang dibanding cahaya lampu dari kapal.
Salah seorang nelayan perempuan, Yostin Tarindje, mengatakan, sudah hampir sebulan tidak ada ikan yang mereka dapatkan sejak kapal itu mulai aktifitas pengerukan. Padahal, Monyilo adalah sumber utama penghidupan keluarganya. Jika ditanya, berapa penghasilan para to po Nyilo ini dalam semalam. Maka biasanya dijawab. “Lumayan”. Sebagai contoh, 1 kilogram ikan Mas harganya mencapai 70 ribu. Ikan Mujair 30 ribu. Rono 10 ribu 1 kati. Dalam semalam, jika beruntung, mereka bisa mendapatkan sampai 10 kilogram ikan Mas.
Hilangnya sumber penghidupan para nelayan ini sudah diperkirakan sejak awal mula proyek berjudul Poso River improvement atau proyek pengerukan dasar mulut danau Poso oleh PT Poso Energy kearah sungai Poso sepanjang 12,8 kilometer. Dalam berbagai kesempatan pihak perusahaan milik keluarga Jusuf Kalla itu menyebutkan lebar wilayah yang dikeruk 40 meter dengan kedalaman 4 sampai 6 meter.
Penambahan kedalaman itu dibutuhkan perusahaan untuk menambah debit air guna memutar 3 turbin berkapasitas 195 Megawatt mereka yang terpasang di proyek PLTA Poso II dan sedikit lagi akan memutar 4 turbin berkapasitas masing-masing 30 megawatt dan nantinya disebut-sebut akan ada lagi 4 turbin masing-masing akan menghasilkan listrik 50 megawatt. Banyaknya turbin-turbin penghasil listrik yang musti diputar itu akhirnya punya banyak konsekuensi yang sayangnya tidak memikirkan nasib para To Ponyilo dan To Porono.
Sejak awal, aksi protes dan kritik terhadap proyek ini tidak mendapat tanggapan serius. Sejumlah upaya sudah dilakukan berbagai pihak untuk mempertanyakan manfaat dan dampak proyek ini bagi masyarakat. Aksi dijalan, teatrikal, jalan kebudayaan, seni bahkan melakukan hearing dengan DPRD Poso sudah dilakukan. Tapi tidak ada apa-apa setelah itu. Proyek ini terus berjalan dengan dukungan penuh semangat dari pemerintah daerah.
Aksi-aksi protes warga bahkan sampai melakukan penyegelan peralatan milik PT Poso Energy beberapa kali dilakukan. Pada 13 Maret 2020 sejumlah nelayan di kelurahan Pamona menyegel 1 kapal keruk dan lokasi proyek jembatan baru dengan menggunakan bambu. Aksi ini dilakukan dengan banyak alasan. Ada yang memprotes karena ikan-ikan mereka di Karamba mati mendadak. Para nelayan menduga, kematian ikan-ikan itu karena limbah. Sebagian lagi menuntut ganti rugi Karamba yang belum dibayar.
Upaya menggunakan jalur resmi untuk menyampaikan sikap penolakan juga dilakukan dengan mendatangi DPRD Poso pada 11 Oktober 2019. Setidaknya ada 4 kali masyarakat menyampaikan sikap penolakan pengerukan mulut danau Poso kepada DPRD. Hasilnya, tidak ada sikap apapun dari lembaga perwakilan rakyat itu. Sempat ada ‘harapan khas politisi’ saat DPRD Poso mengundang tim ahli Ekspedisi Poso memaparkan temuannya di danau Poso. Pasca pertemuan itu, DPRD menggulirkan wacana pembentukan Pansus untuk menyelidiki proses kebijakan pengerukan danau Poso. Hasilnya, tidak ada. Bahkan Pansus itu tidak pernah terbentuk.
Pada hari Senin 10 Agustus 2020, sejumlah nelayan di kelurahan Tendeadongi kecamatan Pamona Utara, menggelar aksi protes di wilayah sungai Poso yang melintasi di kelurahan itu. Mereka memprotes karena sudah tidak bisa Monyilo. Selain itu, pemilik Waya Masapi, alat penangkap Sidat tradisional juga menuntut proses ganti rugi karena juga akan dibongkar demi melancarkan proses pengerukan sungai Poso.
Danau Poso hingga muara danau atau hulu sungai Poso menjadi tempat banyak orang menggantungkan hidupnya.
Mengapa areal muara, pertemuan danau dengan sungai Poso begitu penting bagi nelayan kecil seperti mereka? Muara ini memiliki lebar kurang lebih 60 meter, memanjang sampai ke arah Kompo Dongi Ini merupakan jalur lalu lalang ikan dari arah sungai menuju danau Poso dan sebaliknya. Termasuk Sidat. Dengan area yang lebih sempit. Peluang mendapatkan hasil tangkapan menjadi lebih besar.
Pengerukan Muara Danau Poso, Akan Hilangkan Tradisi Lainnya
Monyilo masih menjadi salah satu tradisi orang di pinggir danau Poso untuk mencari ikan. Yusher Budjalemba, warga desa Soe kecamatan Pamona Puselemba, biasanya Monyilo pada waktu air danau mulai naik. Saat itu banyak ikan mencari makan di rerumputan dipinggir danau. Bersama beberapa warga lainnya, mereka menyusuri pinggir danau, menggunakan lampu atau senter serta parang. Saat air semakin tinggi atau semakin turun, aktifitas ini dilakukan lagi.
Namun Monyilo dengan perahu terus berlangsung sepanjang tahun. Seperti yang dilakukan para nelayan di muara danau Poso. Papa Ge, papa Devi dan Marten, bersama nelayan lain biasanya berkumpul di dekat Goa Pamona. Disini adalah lokasi strategis untuk memulai aktifitas mencari ikan. Termasuk saling meminjam peralatan atau berbagi hasil tangkapan.
Tidak sedikit wisatawan yang datang ke Tentena tertarik untuk ikut Monyilo bersama para nelayan ini. Itu menjadi semacam penghasilan tambahan. Jika ada wisatawan yang tertarik ikut, mereka biasanya memberikan uang kepada nelayan yang perahunya ditumpangi.
Dengan wilayah pencarian ikan sejauh kurang lebih 500 meter, to po Nyilo hanya membekali diri dengan tombak khusus bergagang bambu sepanjang kurang lebih 4 meter yang disebut Sarompo. Bila kedalaman dasar danau, tempat mereka mengejar ikan bertambah, maka akurasi tombak untuk mengenai ikan juga akan berkurang. Belum lagi apabila air danau keruh seperti yang terjadi saat ini, pandangan pasti akan terganggu.
Selain Monyilo, selama seratusan tahun masyarakat sekitar danau Poso menggunakan Waya Masapi atau pagar Sogili untuk menangkap Sidat. Artinya yang ditangkap adalah sidat yang hidup liar di danau. Teknik ini menunggu sidat yang datang dari arah danau masuk ke sungai Poso. Hingga kini belum ada masyarakat di Tentena dan sekitarnya yang diberitakan membudidaya hewan yang masuk dalam Ordo Anguilliformes itu.
Seiring berjalannya pengerukan sungai Poso yang dimulai dari mulut danau Poso, keberadaan Waya Masapi mulai terancam. Saat ini sebagian sudah dibongkar setelah ganti rugi disepakati kelompok pemilik dengan perusahaan. Itu artinya, tradisi yang sudah berlangsung turun temurun hingga 5 generasi ini bisa hilang. Proyek pengerukan ini membuat dasar sungai lebih dalam, akan sulit menemukan kayu tiang pancang dengan ukuran sekitar 7 atau 8 meter untuk membangun kembali waya masapi setelah dasar danau dikeruk.
Kalaupun proses budidaya Sidat dilakukan, akan ada hal lain yang berubah. Yakni hilangnya kebersamaan, yang menjadi ciri nelayan Waya Masapi. Kebersamaan seperti yang diungkap seorang pemilik Waya Masapi, ngkai Lore yang sudah 36 tahun bersama-sama dengan nelayan lain disepanjang mulut danau Poso bahkan sampai membuat keluarga mereka saling kenal seperti saudara.
Tradisi Monyilo bahkan mungkin sudah akan berakhir sebelum proyek pengerukan ini selesai. dasar sungai bertambah dalam, air menjadi keruh jelas membuat tombak atau Sarompo nelayan tidak bisa menemui sasarannya dengan tepat.
Lalu ada tradisi Mosango. Menangkap ikan bersama-sama dalam rombongan di Kompo Dongi, dimana material pasir hasil pengerukan akan dibuang. Jika nantinya kawasan lindung itu direklamasi, maka usai juga tradisi yang menguatkan hubungan orang-orang di pinggir danau itu.
“Ini kalau hilang, ya hilang juga kebersamaan masyarakat dari Tentena, Sangele, Tendea, Petiro, Sawidago sampai Saojo. Karena di Kompo Dongi itu sejak dulu kalau sudah waktunya Mosango, semua kumpul disitu menangkap ikan”kata Hajai Ancura, tokoh adat kelurahan Sawidago. Mosango bukan hanya sekedar menangkap ikan bersama-sama. Didalamnya ada nilai Motila ri Ue. Berbagi di air. Menurut Hajai, yang khas dari Mosango adalah, kegembiraan dan berbagi. Tidak ada persaingan disana. Semua menjadi satu seperti cara Mosango, melingkar, semakin rapat dan berteriak riang ketika ikan terkurung.