Padungku, Sebuah Pesta atau Pengucapan Syukur?

0
7310

Padungku, warisan tradisi Pamona yang dilakukan ketika panen padi telah selesai.  Jika sebuah desa diumumkan mengadakan padungku, diasumsikan masa panen padi di wilayah tersebut sudah selesai. Itu dulu. Ngkai Tinus, panggilan almarhum  Yustinus Hokey maestro budaya Poso pernah menuliskan bahwa, secara terminologi, Padungku atau Mompadungku berasal dari kata asal Dungku dan kata dasar Padungku. Dungku artinya, usai/tuntas/tertib, sehingga Padungku artinya penuntasan atau penertiban. Adapun awalan ‘Mo’ menjadi Mompadungku bermakna proses pertanian (padi) sudah usai, penyimpanan padi di lumbung sudah tuntas dan alat-alat pertanian sudah disimpan dengan rapi. Dalam catatan Ngkai Tinus, padungku tidak langsung dilakukan begitu proses pertanian usai karena ada ritual lainnya yang dilakukan  (Red: lihat artikel “Mo mPadungku” , dalam website ini ) .

Di kemudian hari , seiring dengan masuknya agama Kristen, tradisi ini diadopsi oleh gereja dan dimaknai sebagai “Pesta Pengucapan Syukur”. Meskipun diadopsi, pelaksanaan pesta pengucapan syukur  tetap dikaitkan dengan selesainya panen.  Bentuk acaranya adalah ibadah, di mana masing-masing keluarga membawa “kabuya ndaya” (persembahan syukur) dari hasil panen tersebut, lalu dilanjutkan dengan makan bersama pada sore hari di balai desa atau baruga. Sebelumnya, acara makan bersama ini dilakukan di sawah yang sudah selesai di panen. Pada awal-awal masuknya agama Kristen, mereka yang melakukan padungku adalah para petani.  Bahkan, beberapa cerita menunjukkan padungku juga tetap dilakukan oleh petani  yang beragama Islam. 

Dalam perkembangannya terutama dalam 20 tahun terakhir Padungku berubah wujud.  Seperti yang kita saksikan sekarang ini, Padungku tidak lagi terlalu terikat dengan selesainya panen.  Jadwal pelaksanaan Padungku diatur oleh pihak pemerintah dalam koordinasi dengan Gereja  khususnya Gereja Kristen Sulawesi Tengah ( GKST). 

Baca Juga :  Merasakan Hidup Saling Percaya di Jelajah Kebudayaan Laut Tokorondo

Perubahan ini secara perlahan mengubah statusnya, bukan lagi menjadi acara kebudayaan, namun lebih mendekat pada acara keagamaan khususnya Kristen.  Acara makan bersama sebagaimana acara Padungku yang asli ditinggalkan.  Tidak ada lagi makan bersama di balai desa atau baruga setelah ibadah. Yang terjadi adalah masing-masing keluarga menyiapkan makanan dan menerima tamu di rumah mereka sendiri. Tamu yang akan datang tidak dapat diprediksi, karena siapa saja boleh datang. Bukan hanya model makan bersama yang berubah, jenis makanan dan siapa yang padungku juga berubah. Jika sebelumnya jenis makanan yang disajikan cenderung sederhana dan merupakan hasil panen atau hasil bumi yang didapatkan sendiri oleh petani, model padungku sekarang ini bisa menjumpai berbagai jenis makanan dalam dan luar. Yang tetap bertahan adalah nasi bambu.  Mereka yang melakukan padungku, bukan lagi hanya para petani , tapi juga para pegawai negeri bahkan pengusaha hingga pejabat.

Perubahan model padungku ini menyisakan cerita tentang pesta pora dan pemborosan. Untuk menghadapi padungku, setiap keluarga bisa saja mengeluarkan dana 2 sampai 5 juta rupiah. Dana ini digunakan untuk membeli bahan-bahan makanan seperti daging, rempah hingga sayuran bahkan beras pulut bahan untuk membuat nasi bambu. Tidak heran, dua hari sebelum padungku, pasar akan ramai dengan para penjual bukan hanya penjual bahan makanan tapi juga penjual baju. Beberapa keluarga pernah menceritakan bagaimana mereka harus meminjam uang terlebih dahulu untuk bisa membeli bahan makanan yang digunakan untuk padungku. Sehingga salah satu yang menarik dari fenomena paska padungku adalah berdatangannya para tukang kredit ke rumah warga. 

Baca Juga :  Anak Muda Tinggalkan Desa, dari Petani Jadi Buruh

Wah, kata yang menggambarkan fenomena pesta pengucapan syukur ini.  Tidak jarang terjadi “perang menu” sehingga dana bisa membengkak. Ada perasaan malu jikalau sajian makanannya tidak tergolong wah atau mengikuti trend.  Bukan hanya jenis sajian yang biasanya lengkap, tapi juga dibuat dalam jumlah yang banyak. Maklum, padungku dilakukan seharian penuh, sejak selesai ibadah hingga tengah malam bahkan subuh menjelang hari berikutnya. Mereka yang datang ke rumah-rumah, bukan hanya makan tapi juga membawa makanan . Istilah mangkoni ( makan ), mangkeni ( membawa ) menjadi hal lumrah di pengucapan syukur ini. Setiap keluarga termasuk mereka yang miskin dan kemampuan ekonomi menengah ke bawa didesak mengikuti trend ini. Jika dalam satu desa atau kelurahan terdapat 500 KK, maka setiap kali padungku dana yang akan dihabiskan sekitar 1 milyar rupiah. Maka terjadilah pemaksaan diri. 

Selain menu makanan, pengucapan syukur ini menjadi pesta dengan munculnya fenomena orgen yang mengiringi dero. Biaya membeli makanan bisa ditambah dengan kebutuhan untuk membayar orgen untuk memainkan musik yang suaranya bisa menjangkau 1 km.

Sayangnya, meskipun fenomena padungku dalam pesta ini terjadi setiap tahunnya, pihak gereja maupun pemerintah nampaknya tidak peduli . Atau mungkin hal ini dianggap wajar-wajar saja. Saat ini kita mengenal istilah open house saat padungku, yang umumnya digelar oleh para pejabat. 

Tahun 2020, padungku dilaksanakan di tengah ancaman virus Korona yang jumlah korbannya masih terus meningkat. Di Kabupaten Poso, jumlah mereka yang positif Covid-19 sudah mencapai 27 orang, 12 suspect dan jumlah PDP atau probable yang meninggal dunia sudah 6 orang. Padungku dengan kemeriahan dan pesta tentu sulit untuk menjalankannya dengan protokol kesehatan menjauhi kerumunan,  jaga jarak, gunakan masker, dan mencuci tangan.

Baca Juga :  Membangun Imajinasi Poso Damai dan Adil di Sekolah Perempuan

Seharusnya keadaan di masa pandemi covid-19,  dapat dijadikan momentum oleh kita semua dalam padungku. Momentum untuk memaknai kembali padungku, untuk menghindari pemborosan,  menyederhanakan acara, menyederhanakan menu, mendorong kesadaran masyarakat agar menahan diri untuk “berkunjung” ke tempat “orang lain” yang mungkin jauh di lubuk hatinya merasa risih menerima tamu. Beberapa keluarga menceritakan kepada kami pilihan mereka untuk makan bersama dalam bentuk piknik bersama keluarga di kebun di hari padungku. Keluarga lainnya yang tidak memiliki kebun , tetap memasak namun tidak membuka rumah untuk dikunjungi banyak orang dan memilih saling berbagi makanan dengan tetangga dan yang lainnya dalam bentuk paket. Beberapa keluarga di kelurahan Pamona bahkan dengan cukup berani mengumumkan di sosial media bahwa mereka tidak membuka rumahnya di panduku masa pandemi ini.

Namun, tidak demikian dengan yang lain. Memperhatikan  persiapan yang dilakukan menjelang padungku di wilayah Tentena, memperlihatkan seolah-olah virus corona telah menerima tawaran gencatan senjata dari kita agar tidak menyerang di waktu Padungku. Nampaknya kita memahami bahwa protokol kesehatan itu sama saja dengan aturan lalu-lintas yang boleh saja kita langgar jikalau tidak ada polisi.

Padungku, yang seharusnya menjadi ruang mengucapkan syukur atas panen, semoga tidak menciptakan klaster baru Covid-19 di Kabupaten Poso yang dikategorikan sebagai wilayah transmisi lokal Covid-19 , sementara tes Swab sangat minim. 

Penulis :Yombu Wuri

Editor : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda