Sagu di Poso Makin Tergusur, Padahal Mo Dui Sangat Populer

0
2589
Batang sagu yang siap dikelola menjadi sagu yang bisa dikonsumsi. Foto : Mosintuwu/RayRarea

“Ayo ba Dui torang” adalah ajakan makan paling favorit  di kabupaten Poso ataupun Morowali Utara. Kalau ada makanan yang tidak akan dipertanyakan kehalalannya itulah Dui. Hidangan berbahan sagu ini jadi pemersatu yang menghilangkan sekat-sekat antar agama yang cukup kental saat dan pasca konflik di Poso

AC. Kruyt mencatat, dahulu orang Poso menjadikan makanan dari Sagu sebagai Pancua atau pembuka sebelum hidangan utama disajikan saat makan bersama. Kini istilah Pancua dikonotasikan hanya sebagai lauk untuk pasangan minuman beralkohol seperti Saguer. Dalam adat suku Pamona, pohon Sagu bukan hanya sebagai sumber makanan, tetapi juga sebagai mahar pernikahan, hanya saja akhir-akhir ini sudah sangat sedikit orang yang melakukan perkawinan dengan pohon sagu sebagai mahar.

Dalam bukunya, Orang Toradja yang Berbahasa Bare’e di Sulawesi Tengah, Albertus C Kruijt dan Nicholaus Adriani membahas bagaimana orang Poso memanen Sagu. Saat teknologi pertanian belum semaju saat ini, untuk menentukan apakah pohon Sagu sudah layak di tebang akan dilakukan dengan 2 cara. Pertama Melowo, yakni membuat lubang kecil pada batang sagu dengan menggunakan kapak. 

Kemudian, ditusukkan sebuah kayu berbentuk persegi empat sampai ke tengah batang, lalu diputar berulang didalam. Lalu ditarik keluar untuk melihat apakah di inti batang sudah terdapat banyak Sagu. Cara kedua adalah dengan menggunakan bunga Bomba. Menurut Kruijt dan Adriani, tangkai dan bunga Bomba dipotong memanjang. Kemudian diletakkan di dekat pohon Sagu yang akan ditebang.

Baca Juga :  Cerita 2 Menit 52 Detik untuk Perdamaian Poso

Selanjutnya, seseorang akan berbicara kepada pohon Sagu. “Kau tangkai Bomba, jika kamu melihat banyak Sagu pada pohon ini katakanlah. Jika tidak. Katakanlah tidak ada.” setelah mengatakan itu, tangkai daun dan bunga Bomba tadi diukur kembali. Jika ukurannya lebih panjang daripada saat pengukuran pertama, itu pertanda didalam pohon sagu ini banyak terkandung Sagu.

 

Kata Sagu berasal dari bahasa Jawa yang berarti tepung yang terkurung dalam empulur atau batang pohon Palem. Tapi sebenarnya bangsa Yunani yang lebih dahulu menamai Sagu, mereka menyebutnya Metroxylon Sagu Rattb. Dalam suku-suku di Indonesia tanaman dari marga Metraxylan ini memiliki banyak nama. Di Poso orang menyebutnya Tabaro, sama dengan orang Toraja dan Luwu juga menyebut Tabaro, orang Tolitoli menyebutnya Puntawaro.

Tanaman ini tumbuh alami dan menyebar hampir diseluruh Asia tenggara termasuk Indonesia. Tumbuhan yang termasuk dalam keluarga Arecaceae atau palem-paleman ini tumbuh dengan baik di tepi sungai, disekitar rawa maupun danau dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1000 meter diatas permukaan laut. Sagu mengandung karbohidrat sangat tinggi, dalam 100 gram sagu mengandung 94 gram karbohidrat.

Di kabupaten Poso, Sagu barangkali menjadi salah satu bahan makanan yang paling  populer. Sampai hari ini banyak kios kelontong di Poso khususnya di desa-desa tetap menjual sagu. Hampir setiap pekan atau saat acara kumpul-kumpul Dui akan menjadi hidangan yang disajikan dengan kuah ikan atau sayuran bening.  Dui dibuat dengan menyiram tepung Sagu dengan air panas sambil diaduk. 

Baca Juga :  Perempuan Poso, Memimpin Pembaharuan DesaPerempuan Poso, Pembaharu Desa

Saat ini kita masih bisa melihat kumpulan pohon Sagu yang cukup banyak di ujung Utara desa Sangira kecamatan Pamona Utara, di tepi jalan trans Poso-Tentena. Meski perlahan lokasi pohon-pohon Sagu itu mulai terdesak oleh munculnya pemukiman baru. 

Secara ekonomis, Sagu sebenarnya cukup menjanjikan. Ibu Rahel, to Posambe (pemanen Sagu) di desa Sangira mengatakan, satu pohon Sagu dapat menghasilkan hingga 10 karung sagu kering. Tepung Sagu biasanya dijual dalam wadah dari pelepah Sagu yang biasa disebut Baso. Harga 1 baso bisa mencapai 40 ribu rupiah.

Sedangkan bila yang dijual adalah pohon siap tebang, hargnya sangat murah, hanya sekitar 100 ribu rupiah. Biasanya para pembeli batang Sagu ini membawanya ke tempat pengolahan sagu terbesar di Poso yang terletak di desa Toinasa kecamatan Pamona Barat.

Dui, sebutan untukkuliner berbahan sagu di wilayah Poso. Dimakan bersama kuah ikan dicampur dengan sayuran bening. Foto : Dodoha/RayRarea

Frans seorang pengolah Sagu di desa Toinasa yang menekuni usaha ini sejak tahun 2007 mengatakan, dia mengumpulkan batang Sagu dari desa-desa yang ada di kabupaten Poso lalu mengolahnya menjadi sagu kering melalui beberapa proses mulai dari penebangan, pemotongan menjadi bagian-bagian kecil, penggilingan menggunakan mesin, dan proses penyaringan. 

Baca Juga :  Menuju Geopark Danau Poso

Dalam seminggu ada 3 hari yang mereka gunakan untuk mengumpulkan Sagu dari desa-desa. 1 karung Sagu kering yang sudah jadi dijual dengan harga 200 ribu rupiah. Dalam seminggu biasanya mereka bisa mengolah 4 pohon Sagu. Satu pohon ata-rata menghasilkan 6 karung sagu kering. Artinya produksi sepekan sebanyak 24 karung. Jika dijual dengan harga 200 ribu rupiah per karung, maka sepekan mereka mendapatkan penghasilan 4.800.000 rupiah.

Meski punya peran penting dalam masyarakat Poso, namun menariknya, kita tidak dapat menemukan data luas lahan yang ditanami Sagu di BPS kabupaten Poso. Sagu misalnya tidak tercatat dalam publikasi Poso Dalam Angka Tahun 2018. Demikian pula dalam Kecamatan Dalam Angka. Tidak satupun dari 19 kecamatan di kabupaten Poso yang memuat data jumlah luas atau produksi Sagu di wilayah mereka. Padahal jumlah produksi Karet, Sawit hingga Alpukat tercatat.

Di dalam laporan BPS provinsi Sulteng tahun 2016 menunjukkan tidak ada catatan berapa ton produksi Sagu dan berapa hektar luas lahannya di kabupaten Poso. Sementara kabupaten Morowali masih mencatat 6 hektar dengan produksi 1,75 ton. (https://sulteng.bps.go.id/statictable/2017/12/21/664/luas-areal-dan-produksi-tanaman-perkebunan-rakyat-menurut-jenis-komoditi-dan-kabupaten-kota-2016-.html) . 

Sepuluh tahun ke depan, apakah ajakan “ Manjo ba dui “ akan langka? Karena kita perlu pohon sagu untuk ba dui. 

Penulis : Kurniawan Bandjolu

Editor : Pian Siruyu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda