“Kami tidak bisa terpisahkan dari kopi”
Sambil tertawa, Herlina melanjutkan “ Sakit kepala kalau tidak minum kopi tiga kali satu hari”
Herlina menyamakan kebutuhan kopi seperti beras yang selalu harus ada dirumah. Rata-rata warga Bancea memiliki setengah hektar tanaman kopi. Biasanya tidak dalam satu lokasi, tapi terpisah di beberapa kebun. Warga akan lebih mudah menjawab jumlah pohon dibanding luas kebun kopinya. Selain untuk memenuhi kebiasan ngopi setiap hari. Setiap ada perayaan apapun di kampung, terutama pesta pernikahan, kopi pasti akan disuguhkan mulai dari saat bekerja mempersiapkan hingga selesainya acara.
Diantara ratusan pohon kakaonya, ibu Herlina, menyelipkan beberapa pohon kopi. Kopi jenis Robusta(Coffea canephora). Orang di desa Bancea menyebutnya kopi Kojo. Biarpun bukan tanaman utama, kopi selalu ditanam di kebun. Mereka merawatnya tanpa pupuk. Itu sebabnya kopi ini sangat nikmat.
Herlina adalah salah seorang petani di desa Bancea, sebuah desa yang berada di sebelah selatan danau Poso. Dengan ketinggian 657 meter dari permukaan laut, desa ini sangat cocok untuk tumbuhnya kopi. Meski belum menjadi tanaman utama, namun warga Bancea tidak bisa dipisahkan dari kopi. Minum kopi menjadi pembuka pagi sebelum ke kebun atau sawah.
Salah satu yang membuat cita rasa kopi Kojo Bancea lekat di hati warga, selain aromanya yang kuat mereka yakin kopi itu sehat karena dikelola secara organic. Setiap 3 bulan Herlina akan membersihkan rumput di sekitar pohon kopi dengan tangannya. Mereka menghindarkan pohon kopinya dari bahan kimia, mulai dari pestisida hingga pupuk kimia.
Tentu ada tantangan karena tidak menggunakan pestisida. Serangan semut. Mereka mengatasi itu dengan semprotan cairan organic yang dibeli dengan harga yang lebih mahal.
“Kalau tidak di bersihkan, semut akan merusak buah-buah kopi, bikin buah kopi itu kosong, kalau perawatannya bagus, satu pohon bisa dapat 4 kilogram biji kopi kering”kata Herlina. Dia rutin memangkas pohon kopinya setiap bulan.
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan kopi mulai ditanam di desa Bancea. Beberapa orang tua mengatakan, kopi sudah ditanam sejak sekitar tahun 1912 saat zending Belanda di Poso. Kalau ditelusuri lebih jauh, biji kopi arabika merupakan varian kopi pertama di Indonesia yang dibawa oleh para penjajah dari Belanda sekitar tahun 1696. Alasannya sederhana, biji kopi tidak bisa tumbuh di iklim negara Eropa, sehingga mereka mencoba membudidayakannya di tanah jajahannya, salah satunya Indonesia.
Sekolah Perempuan Mosintuwu melalui kurikulum Ekonomi Solidaritas membuka ruang para perempuan di Bancea untuk mengorganisir diri membentuk kelompok dan mulai memperkenalkan kopi. Herlina kemudian menamakannya kopi Kojo , yang dalam bahasa Pamona berarti asli.
“Ini kopi aslinya Poso” terangnya.
Banyaknya bibit kopi tersebar di kebun dan hutan sekitar desa Bancea juga membantu warga lebih mudah menanam. Itu sebab tidak sulit bagi warga meremajakan pohon kopi yang sudah tua. Bibit-bibit kopi di hutan berasal dari muntahan tupai atau tikus. Herlina sejak kecil diwariskan orang tuanya cara menanam dan merawat kopi, memetik hingga mengolahnya sampai siap minum.
Tahun 2017 lalu, msyarakat Bancea menerima bantuan bibit kopi Robusta Lampung dari pemerintah, satu keluarga mendapat bantuan bibit hingga ratusan pohon. Herlina berharap nantinya juga ada pelatihan mengolah kopi pasca panen agar kualitas kopi di desanya semakin meningkat dan bisa memasok kebutuhan kopi bukan hanya kabupaten Poso, tapi juga Indonesia dan dunia.
Sebagai langkah awal mengenalkan kopi Bancea, pada tahun 2018 difasilitasi oleh Institut Mosintuwu, petani perempuan desa Bancea mengikuti festival kopi di kota Palu. Di festival yang diikuti banyak di ikuti petani dan pemilik cafe itu, para petani ini saling belajar dan bertukar pengalaman. Terutama bagaimana mengolah kopi sehingga bisa diterima pasar.
“Kita disini selalu saling mengingatkan agar kopi terus di tanam jangan sampai hilang karena itu adalah salah satu kebutuhan yang sama dengan beras”kata Herlina.
Semenjak mengikuti festival di Palu, kopi Kojo asal Bancea mulai di kenal. Banyak orang dari desa lain yang kini mengembangkan kopi datang mengambil bibit kopi dari itu. Salah satunya Desa Dulumai dan Desa Salukaia. Di kedua desa ini kopi yang dikonsumsi merupakan kopi yang ditanam sendiri, sama jenisnya seperti kopi di Bancea. Para petani kopi sekarang menghadapi tantangan untuk memproduksi kopi lebih banyak agar memenuhi permintaan. Namun sebagaimana prinsip yang dipegang dalam ekonomi solidaritas, kelompok petani kopi memilih mempertahankan produksi kopi dengan cara mereka sekarang. Kecilnya produksi kopi di Bancea, selain karena belum menjadi tanaman utama yang diandalkan menjadi sumber penghasilan, juga karena mempertahankan cara organik yang tidak menggunakan pupuk kimia. Karena itu juga harga kopi Bancea lebih mahal. Saat ini harganya Rp 35,000 per kilogram.
Sulawesi Tengah memproduksi 2,949 ton kopi tahun 2020 atau hanya 4,80 persen dari total produksi kopi nasional yang mencapai 773,409 ton (pertanian.go.id) . Data BPS tahun 2020 menunjukkan, hanya ada 76 hektar luas panen di kecamatan Pamona Selatan yang menghasilkan 13,14 ton kopi. Hasil yang sangat kecil dibandingkan kecamatan Pamona Barat (50 ton) dan Pamona Tenggara (30 ton) yang mengapitnya. Data ini mengartikan di wilayah ini kopi masih menjadi tumpang sari. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Minum kopi yang ditanam sendiri rasanya lebih segar dan lebih bersyukur” ujar Herlina menutup percakapan kami .
Penulis : Martince Baleona
Editor : Pian Siruyu