Tiga Presiden di Poso

0
1742
Presiden Soekarno berbincang dengan kelompok perempuan di Poso dalam kunjungannya. Foto : Dok.Historia Sulteng

Tiga Presiden telah berkunjung ke Poso. Ketiganya mewakili 3 generasi berbeda.  Tahun 1951, Presiden pertama RI, sang Proklamator Soekarno . Tahun 2000,  Presiden ke empat RI, sang pluralis Abdurrahman Wahid . Tahun 2022, Presiden ke tujuh, Joko Widodo. Untuk apa dan apa bedanya? Mengapa Poso dikunjungi?

Soekarno, Mengambil Hati Rakyat Poso

Soekarno, datang ke Poso hanya 6 tahun setelah bersama Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bertahun-tahun setelah pernyataan kemerdekaan itu, Indonesia dipenuhi gejolak. Pemberontakan muncul di sejumlah daerah. Di Sulawesi, tahun 1950 Kahar Mudzakkar mendeklarasikan berdirinya Negara Islam dia membangun Tentara Islam Islam Indonesia. Gerakan yang berlangsung hingga 1965 ini dikenal sebagai DI/TII. Gerakan DI/TII ini menyebar luas termasuk di wilayah tengah Sulawesi. 

6 Tahun sejak proklamasi kemerdekaan itu, tepatnya pada 21 November 1951 Soekarno menapakkan kakinya di tana Poso. Menumpang pesawat Catalina dia mendarat di pantai wilayah Kota Poso. Ribuan warga menyambutnya dengan pekikan “Hidup Bung Karno”. Beberapa spanduk bertulis “Hiduplah Bapa Negara Kita” terpampang.

Dari pantai, dia menuju lapangan Kasintuwu dimana ribuan orang telah menunggu. Seperti biasa, dia memberikan pidato berapi-api yang menggelorakan arti kemerdekaan. Soekarno bermalam di Kota Poso, menyempatkan diri menikmati tari-tarian yang dibawakan putra-putri Poso. Dia juga meresmikan Tugu Kemerdekaan.

Sejarahwan Historia Sulteng, Moh Herianto mengatakan, kunjungan  Presiden RI pertama itu menunjukkan posisi penting kabupaten Poso. Waktu itu Poso menjadi ibukota Sulawesi Tengah.

“Kalau dilihat dari rute perjalanannya, kunjungannya tahun 1952 itu dari Ambon-Poso-Makassar, menunjukkan bahwa kedatangannya untuk ‘membakar’ nasionalisme rakyat di Indonesia Timur”kata Herianto. 

Masa-masa itu, Sulawesi, dan pulau lain sedang menghadapi gelombang ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang dianggap terlalu memusatkan pembangunan di Jawa hingga melupakan wilayah lain.

Baca Juga :  Mosintuwu Award 2018 : Penghargaan Para Penjaga Kebudayaan Poso

Senada dengan Herianto, pemerhati sejarah Poso, Pramaarta Pode menjelaskan, maksud kedatangan Soekarno untuk memenangkan hati masyarakat Poso . Waktu itu, menurutnya, orang Poso masih mendapat pengaruh kuat dari Belanda. Jika dihitung, Belanda baru benar-benar meninggalkan Indonesia bulan November tahun 1949 setelah mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konfrensi Meja Bundar di Den Haag.

Di Poso pasca kemerdekaan, pengaruh Belanda masih kuat lewat penyebaran agama Kristen yang dilakukan lembaga misionaris Belanda, Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG). 

Antusiasme warga Poso dalam kunjungan Presiden Soekarno di lapangan Sintuwu Maroso. Foto : Dok.Historia Sulteng

“Soekarno ingin mendapatkan hati masyarakat Poso. Dia berhasil, bisa dilihat dari banyaknya masyarakat yang menyambutnya sejak dari kedatangan sampai saat menyampaikan pidato di lapangan Kasintuwu”kata Pramaarta. Pada waktu Soekarno datang, Poso adalah salah satu wilayah kota yang ramai dan penting dalam perdagangan kopra di Sulawesi selain Makassar, Gorontalo, Manado dan Donggala. 

Gusdur, Berusaha Mendamaikan

Gusdur adalah Presiden kedua yang mengunjungi Poso, tepatnya tanggal 22 Agustus 2000. Kunjungan Gusdur dilakukan belum setahun setelah dilantik sebagai Presiden. Saat itu Poso sedang mengalami konflik kekerasan. Saling serang antar kelompok atas nama agama masih berlangsung bahkan meluas ke hampir seluruh wilayah Kabupaten Poso. 

Dalam kunjungannya ke Poso, Gusdur menggelar pertemuan dengan para tokoh masyarakat. Pertemuan itu menghasilkan deklarasi yang diberi nama Rujuk Sintuwu Maroso. Meski deklarasi ini tidak mampu menghentikan pertikaian. Namun deklarasi ini adalah pertemuan awal yang patut dicatat sebagai upaya pertama pemerintah pusat mendamaikan pertikaian di Poso.

5 Bulan setelah Gusdur dilengserkan, Deklarasi Malino yang berisi 10 butir kesepakatan ditandatangani. Butir pertama, menghentikan segala bentuk konflik dan perselisihan, dibutir lain juga mengatur tentang jaminan hak-hak kepemilikian warga. Pasca dilengserkan sebagai Presiden, perhatian Gusdur terhadap Poso tidak berkurang. Berkali-kali dia menegaskan yang terjadi di Poso bukanlah konflik agama tetapi menggunakan agam sebagai pemicu.

Baca Juga :  Perempuan Tuntut Transparansi Pengelolaan Dana Desa

Gus Dur, sendiri merasa ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan pemerintah pusat mengenai apa yang terjadi di Sulawesi Tengah.

“Pemerintah itu sepertinya paling tahu sendiri, padahal yang paling tahu kan rakyat. Saya ini bekas presiden jadi tahu kalau mereka (pemerintah) itu sebenarnya tidak tahu apa-apa,” kata Gusdur.(https://nasional.tempo.co/read/71985/gus-dur-konflik-di-poso-dan-palu-bukan-konflik-agama)

Jokowi,  Utamakan Investor

22 Februari 2022 Jokowi, Presiden Indonesia yang ke tujuh datang ke Poso. Tujuannya meresmikan mega proyek PLTA berkapasitas 515 MW milik PT Poso Energi, salah satu kelompok usaha keluarga mantan Wapres Jusuf Kalla. Waktu pidato dia meminta PLN menyederhanakan birokrasi perijinan karena dikeluhkan mantan wakilnya itu.

Dia menekankan proses pembangunan proyek-proyek PLTA lain di Sulawesi bisa segera selesai untuk capai target energi baru terbarukan (EBT). Tak lupa dia menyinggung kebutuhan listrik untuk industri yang harus dipenuhi.

Tapi dia lupa, PLTA yang diresmikannya menenggelamkan ratusan hektar sawah dan kebun warga di pinggir Danau Poso bahkan sebelum diresmikannya. Para pemilik sawah dan kebun berkali-kali mengajukan protes, termasuk mengirimkan surat kepadanya. Surat pertama dikirimkan warga petani pada hari tani di tahun 2021, sementara surat kedua dikirimkan dua hari sebelum kedatangan Jokowi. Namun, belum ada tanggapan resmi atas surat terbuka warga yang mendapatkan perhatian nasional tersebut. 

Bukan hanya menenggelamkan sawah, dinaikkannya permukaan air danau dalam aktivitas PLTA Poso menyebabkan berkurangnya populasi kerbau di kecamatan Pamona Tenggara. Bagi warga di desa Tokilo, Tindoli dan Tolambo yang memelihara kerbau, peliharaan itu semacam tabungan yang bisa digunakan setiap saat untuk membiayai kebutuhan hidup hingga biaya berobat dan pendidikan. Demikian pula, PLTA Poso mengancam keberlanjutan biota endemik danau Poso, termasuk ikan asli Danau Poso, sidat. Padahal, danau Poso ditetapkan menjadi 1 dari 15 danau prioritas di Indonesia. Penetapan danau Poso sebagai danau prioritas ini adalah bagian dari langkah strategi pemerintah pusat untuk melindungi danau-danau di Indonesia yang terancam kelestariannya. 

Baca Juga :  Hari Tani : Petani Pinggiran Danau Poso Tuntut Keadilan atas Sawah Terendam

Diresmikannya bendungan PLTA Poso diantara berbagai kerugian yang dialami masyarakat dan ancaman bagi kelestarian danau jadi semacam legitimasi apapun yang dilakukan investor bisa diterima negara sepanjang mendukung target yang mereka tetapkan untuk mendorong industri. Di Sulawesi, pembangunan pembangkit listrik lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik industri tambang ketimbang untuk kebutuhan masyarakat sekitarnya.

——

Tiga presiden berkunjung ke Poso, apa dampaknya bagi masyarakat Poso? 

Kunjungan Soekarno menggelorakan semangat masyarakat Poso untuk bergabung di NKRI dan menggariskan pilihan politik terhadap upaya-upaya gerakan pemberontakan yang lahir terhadap NKRI. Gus Dur membuka ruang bertemu antar warga Poso yang berbeda agama untuk membangun upaya-upaya perdamaian. Apa yang dilakukan Soekarno dan Gus Dus, menyatukan pandangan politik warga Poso tentang Indonesia dan tentang keberagaman. Kedua Presiden ini menguatkan posisi kewargaan masyarakat Poso. Sebagai warga masyarakat Indonesia di Poso pada masa awal kemerdekaan , dan pada masa konflik. Sebaliknya, kunjungan Jokowi menempatkan warga Poso sebagai obyek pembangunan sehingga mengabaikan suara dan posisi warga Poso yang telah lama berdiam dan hidup di tanah airnya. Cara pikir atas kunjungan ini tidak menempatkan warga Poso sebagai kelompok masyarakat yang penting sebagai warga negara, sebaliknya menempatkan warga Poso sebagai obyek pendukung kepentingan modal atas nama pembangunan. 

Bagikan
Artikel SebelumnyaMoende, Tarian Tradisional Poso Mengingat Leluhur
Artikel SelanjutnyaRaru Topuha, Menghidupkan Ekonomi Desa dari Hasil Hutan
Pian Siruyu, jurnalis dan pegiat sosial. Aktif dalam kegiatan kemanusiaan sejak konflik Poso. Sejak 2005 aktif menulis di surat kabar lokal dan media online. Sekarang aktif menulis tentang isu ekonomi, sosial, politik di Kabupaten Poso dan Sulawesi Tengah untuk media Mosintuwu termasuk berita di Radio Mosintuwu

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda