Konferensi Perempuan Poso: Kami Diabaikan dan Dimiskinkan oleh Pembangunan

0
1146
Perempuan dari berbagai desa mengikuti konferensi perempuan Poso : tanah, air, hutan pada tanggal 26 - 27 Mei 2022 di Dodoha Mosintuwu, Tentena. Foto : Dok.Mosintuwu/Ray Rarea

Danau mengering karena pengembangan kebun sawit, debit air sungai mengecil karena hutan dibabat. Lalu pembangunan waduk untuk penyediaan listrik tidak mengindahkan suara warga. Situasi pemiskinan perempuan ini terpapar dalam Konferensi Perempuan Poso.

Seorang perempuan dengan suara tercekat bercerita tentang sawahnya yang sering terendam, sedangkan usaha penambangan pasir yang diusahakan warga di desanya hasilnya terus menurun.

 “Sawah sering terendam. Penambang pasir tak bisa lagi mendapatkan penghasilan. Konflik horizontal juga makin sering terjadi karena banyak warga yang tak memiliki pekerjaan,” kata seorang perempuan warga desa di sekitar Danau Poso. pembangunan bendungan PLTA , Poso, Sulawesi Tengah, saat berbicara di Konferensi Perempuan Poso: Tanah air dan Hutan pada Kamis-jumat (26-27 Mei 2022) yang disiarkan secara online melalui radio Mosintuwu FM.

Pemaparan warga ini menunjukkan pembangunan waduk di Pamona, Poso Sulawesi Tengah yang ditujukan untuk menyediakan pasokan listrik bagi warga, ternyata menyimpan dampak negatif bagi alam dan penduduk setempat. Pembangunan bendungan PLTA dengan memanfaatkan Danau Poso ini mempengaruhi penghidupan dan bahkan memiskinkan penduduk setempat.Sejumlah pakar mengingatkan, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) ini berpotensi merusak ekosistem dan habitat Danau Poso.

Kerusakan alam akibat bendungan PLTA Poso ini menjadi salah satu dampak negatif dari pembangunan dan eksplorasi alam Poso yang terungkap dalam Konferensi Perempuan yang dihelat oleh Mosintuwu, sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan. Dalam pertemuan ini, hadir tak kurang 120 perempuan dari 25 desa yang tersebar di sejumlah wilayah di Kabupaten Poso. Desa-desa dari Lembah Bada, misalnya Gintu, Bulili, Tuare, Tomehipi ; dari Poso Pesisir seperti Desa Pinedapa, Maranda dan Lape; dari Pamona bersaudara seperti Desa Tolambo, Tindoli, Tokilo, Owini, Tiu, Poleganyara dan lainnya

Ratusan perempuan memiliki pengetahuan lokal, pengalaman mengelola tanah, air dan hutan di Tana Poso ini membahas tanah air dan hutan dalam konteks sejarah ingatan mereka atas kondisi tanah, pengelolaan air dan hasil hutan, membicarakan konteks dan dinamikanya saat ini. Dan lantas bersama-sama mencari jalan baru untuk merawat tanah air dan hutan demi kehidupan yang berkelanjutan.

Mereka datang dari daerah yang memiliki kondisi geografis yang berbeda seperti pesisir laut, lembah Bada, sekeliling danau hingga jalur Trans Sulawesi.

 “Ada ibu-ibu rumah tangga, buruh perempuan, petani dan nelayan, juga mereka yang bergiat dalam pemerintahan desa,” jelas Lian Gogali, pendiri Sekolah Perempuan Mosintuwu kepada Konde melalui sambungan telepon, Jumat (27/5/2022). 

Konferensi ini merupakan kelanjutan dari pertemuan Lian Gogali dengan ratusan perempuan anggota Sekolah pembaharu desa yang dilaksanakan oleh Institut Mosintuwu sejak 2019. Dalam Konferensi ini perempuan diajak untuk memikir ulang tentang ingatan-ingatan, sejarah, pada Air, Tanah, dan Hutan dalam konteks dan dinamika, beserta imajinasi masa depan untuk meraih kehidupan lingkungan yang adil dan ekosistem yang lestari.

“Di sini, kami tidak hanya bertemu dan merayakan, akan tetapi saling berbagi informasi terkait makna atau nilai dari tanah, air dan hutan, agar kedepannya dapat mengkampanyekan mencintai lingkungan, menjaga, dan merawat alam yang sebenarnya diwadahi tubuh perempuan itu sendiri,” tambahnya.

Baca Juga :  Padungku, Sebuah Pesta atau Pengucapan Syukur?

Dalam pertemuan itu terungkap bahwa eksploitase alam secara berlebihan dan konflik berkepanjangan di Poso, Sulawesi Tengah telah membuat warga setempat terutama perempuan menderita. Eksplorasi atas nama pertumbuhan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi justru mengakibatkan tanah air dan hutan berganti penguasaan ke Negara atau pemilik modal.

Hutan dibabat untuk diambil kayunya dan kemudian digantikan dengan kebun sawit. Penebangan hutan secara besar-besaran telah membuat kualitas lingkungan menurun drastis.

Bahkan pembangunan waduk untuk penyediaan listrik dan pengairan juga berimbas negatif ke kehidupan warga. Belum lagi penambangan emas dan mineral lainnya dari bumi Poso yang terus dilakukan tanpa melibatkan warga setempat.     

Padahal dari tanah air dan hutan itu bergantung kehidupan perempuan Poso dan keluarganya baik sebagai petani, nelayan, pekebun ataupun penambang tradisional.

Satu contoh yang nyata yaitu hilangnya Danau Toju menjadi rawa karena perkebunan sawit. Juga eksotisme Lembah Bada terancam hilang oleh tambang emas dan PLTA ( Kabupaten Poso tercatat akan punya PLTA di hampir semua sungai besar )

Pengejaran aparat terhadap  kelompok MIT yang bersembunyi di belantara Poso, juga punya dampak signifikan bagi warga. Namun, selama ini media cenderung hanya mencatat bagaimana pengejaran teroris itu berjalan atau berapa jumlah terorisnya yang berhasil dilumpuhkan. Sementara dampak yang dirasakan warga luput dari perhatian.

“Yang tidak tercatat adalah tentang penghasilan warga yang berkebun di daerah pegunungan dan hutan, karena itu bisa jadi tempat persembunyian kelompok bersenjata itu,” kata Lian.

Dalam catatan, pada 2014 hingga 2015, rata-rata penghasilan warga Tangkura, Poso Pesisir Selatan, Kabupaten Poso dari berkebun, terutama cokelat, turun hingga 70%. Hal ini karena warga tak bisa leluasa merawat kebunnya karena ada pembatasan jam ke kebun. Padahal kebun coklat harus dikunjungi terus karena rentan hama.

Dampak lainnya, warga bisa jadi sasaran tembak kedua belah pihak saat berkebun. Dan, yang lebih parah warga terjepit antara kedua belah pihak, karena dituduh membela partisipan kelompok bersenjata itu. Kondisi baru membaik pada 2018, karena pengejaran kelompok bersenjata (MIT) tidak seintensif sebelumnya, sehingga muncul rasa aman, terutama tidak ada pembatasan jam lagi.

Pembangunan yang memiskinkan  

Apa saja yang dialami warga/perempuan Poso akibat pembangunan ini? pantauan Konde di hari kedua
pelaksanaan konferensi yang dipantau dari live streaming mosintuwu.com pada Jumat (27/5/2022) menemukan warga Desa Maranda, Kecamatan Poso Pesisir yang mengeluh air tanah yang tercemar sehingga tidak bisa dikonsumsi, debit mata air dan sungai terus mengecil karena hutan dibabat. Sementara jaringan air bersih belum mencapai semua rumah warga, bahkan beberapa waktu terakhir mati total.

Penebangan liar membuat kelestarian alam terancam, bahkan beberapa tempat sering kebanjiran saat musim hujan. Banjir yang makin sering terjadi membuat tanah tak lagi sesubur sebelumnya.

Baca Juga :  Pendidikan Agama yang Pluralis di Sekolah Poso

Penggundulan hutan juga membuat debit air sungai berkurang drastis saat musim kemarau, sehingga masyarakat tak bisa lagi mencari kehidupan dari sungai yang mengaliri desa itu.Penebangan kemudian mematikan sumber mata pencaharian penduduk setempat.

Sementara warga Desa Lape dan Tokorondo serta desa-desa lain di wilayah Poso Pesisir, hingga saat ini masih takut ke hutan karena tempat ini diduga menjadi tempat persembunyian teroris. Pengejaran intensif terhadap kelompok teroris yang dilakukan aparat membuat aktivitas mereka jadi terbatas.   

Kebun-kebun yang berada di lereng bukit tidak lagi intensif dibudidayakan. Sebagian besar masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan seperti durian, coklat, cengkeh beralih ke kebun/sawah di sekitar rumah mereka, dengan menanam palawija seperti jagung, nilam dan sebagainya. Ada juga bekerja mengikat rumput laut karena lebih aman.

Lain lagi yang dialami warga desa lain yang masih berada di Poso. Tambang emas yang manual juga terancam diambil alih perusahaan besar. Penambangan secara besar-besaran ini dikhawatirkan akan mengancam kelestarian kebun coklat dan cengkeh milik penduduk setempat.

Sedangkan wakil dari Desa Desa Tonusu, kecamatan Pamona Puselemba mengeluhkan tanah yang semakin kurus alias tak sesubur di masa lalu. Sehingga makin banyak warga yang berpaling dari pertanian. Banyak warga yang meninggalkan desanya untuk merantau ke luar kota atau bahkan ke luar negeri untuk menjadi pekerja migran (PMI).

Di desa Desa Didiri, kecamatan Pamona Timur, warga tidak bisa mensertifikasikan lahan miliknya. Alasan yang disampaikan aparat pemerintah setempat, ada banyak perusahaan besar yang akan masuk ke wilayah tersebut. Mereka telah mengantungi izin usaha.

“Saat warga menanyakan hal ini, mereka dikasih tahu hanya bisa menanam tanaman tahunan,” ujar ibu Duriati, dari Desa Didiri .

Para pemilik modal memang tertarik masuk desa tersebut karena kekayaan alam yang ada di sana. Air sungai Koronjongi yang dulu bisa makan dan minum kini tercemar. Sehingga untuk air minum warga harus mengambil di sumber yang lebih jauh.

Ada juga masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari madu hutan. Maraknya penebangan hutan, terutama pohon konklo dan pohon gopu mengakibatkan lebah sulit mendapatkan makanan, sehingga produksi madu berkurang drastis. Warga harus bekerja lebih keras meski kondisi ini juga membuat harganya semakin mahal.

“Kami hanya bisa berdoa semoga perusahaan besar itu tidak jadi masuk,” ujarnya.

Sedangkan warga desa Tiu, mengeluhkan masuknya pengusaha sawit yang mengakibatkan air tanah tercemar. Tidak sedikit ternak milik warga yang mati karena mengonsumsi air yang tercemar pestisida ataupun pupuk yang digunakan perkebunan kelapa sawit.

Penguasaan lahan secara besar-besaran untuk perkebunan sawit telah mengakibatkan perubahan status warga setempat dari semula sebagai pemilik lahan menjadi buruh.  Kepemilikan warga atas tanah semakin berkurang, karena beralih ke perusahaan.

Kondisi ini awalnya disambut positif, karena banyak warga yang terserap ke sana. Tetapi ke sini, beban yang harus ditanggung warga terasa makin terasa berat. Tidak sedikit perempuan yang bekerja sebagai buruh lepas di perkebunan sawit yang jatuh sakit karena beban kerja yang semakin berat.

Baca Juga :  Membincangkan Dekolonisasi Bantuan : Pengalaman dari Namibia dan Poso

“Perempuan harus menghabiskan 20 zak pupuk sehari. Kalau semprot pestisida harus 25 tangki sehari. Untuk memenuhi target itu kami harus bekerja sejak pagi buta. Ini berat sehinga banyak perempuan yang sakit-sakitan,” ujar wakil warga Desa Tiu.

Pengusahaan sawit secara besar-besaran juga mengakibatkan Danau Toju mengering sehingga warga tak bisa lag mengusahakan ikan di danau tersebut.

Bersama merawat alam

Di akhir acara ini para ibu bersama-sama merumuskan langkah yang akan dilakukan untuk mengantisipasi perubahan yang kini sedang berlangsung di Poso. Perempuan diajak untuk lebih peka dan sensitif terhadap kebijakan/keputusan pengelolaan tanah air dan hutan di daerahnya masing-masing.
Menurut Lian, selama ini cara hidup perempuan telah diatur oleh kebijakan yang patriarkis dan kapitalis. Di Konferensi ini perempuan Poso diajak untuk membongkar pola pikir mereka dan terlibat lebih aktif dalam pengelolaan alam yang berpengaruh besar dalam kehidupan mereka.

“Jangan lagi menerima saja, perlu dikritisi dengan cara pikir yang baru,” cetus Lian..

Dari Konferensi Perempuan Poso ini para ibu mulai mencatat kebutuhan yang penting dilakukan untuk mengantisipasi perubahan alam yang terjadi di Poso. Mereka diajak untuk membangun jejaring kegiatan perempuan untuk merespon perusakan yang terjadi.

Dari perjalanannya ke puluhan desa di Poso, Lian mencatat, selama ini para perempuan Poso bergerak sendiri-sendiri. Lewat konferensi ini bahwa perempuan lain di Poso juga menghadapi masalah yang sama sehingga perjuangan akan lebih kuat jika mereka bersinergi dan membangun jaringan. Dengan jaringan jaringan ini, perempuan Poso akan mengambil keputusan dan menghasilkan rekomendasi untuk merawat bumi Poso. Lantas mereka bersama-sama menjalankan  rekomendasi itu.

Ditegaskannya, ada hubungan yang sangat erat antara tanah air dan hutan dengan tubuh perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan dan anak merasakan dampak yang lebih besar saat terjadi kerusakan lingkungan. Tubuh perempuan, ujarnya adalah wadah dari tanah air dan huta. Ketika tanah air dan hutan rusak maka tubuh perempuan juga mengalami kerusakan. Dan itu menjadi symbol kerusakan komunitas.

“Apa yang dialami ketika kerusakan alam terjadi tak hanya berhubungan dengan produksi dan konsumsi tetapi juga identitas, yang dalam hal ini adalah perempuan,” ujarnya.

Lewat Konferensi ini yang akan dilanjutkan dengan Festival Perempuan Poso pada Oktober mendatang, perempuan ini mengirim pesan Pesan kepada generasi muda, bahwa hutan tanah air perlu dijaga sejak sekarang. Mereka juga ingin mewariskan tanah air hutan yang masih terjaga. 

Kemakmuran tak selalu soal uang, tetapi juga sarana kehidupan yang tersedia juga hal-hal yang dihasilkan dari tanahnya sendiri.

Redaksi : Tulisan ini sudah pernah dimuat di konde.co pada tanggal 2 Juni 2022 Konferensi Perempuan Poso. Republikasi dilakukan seijin penulis sebagai bagian dari dukungan atas gerakan perempuan di Poso.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda