Mosikola Teologi : Berteologi yang Kontekstual Membebaskan

0
648
Antrian mencari air di Bukit Bambu. Foto : Dok.RayRarea

“Bagaimana orang bisa mendengarkan khotbah dengan baik kalau perutnya lapar, kalau hidupnya miskin”

Kalimat ini dilontarkan berulangkali oleh Pdt Dr I Gede Supradnyana, dosen STT GKST Tentena di hadapan peserta Mosikola Teologi. 

Kelas Mosikola Teologi yang dilaksanakan STT GKST Tentena bekerjasama dengan Institut Mosintuwu adalah program pendidikan non formal yang mengusung tema mendekatkan teologi dengan isu kehidupan sehari-hari.  Karena ini kelas non formal jadi pesertanya juga datang dari beragam latar. Umumnya pendeta dan mahasiswa teologi, tapi banyak pula warga yang berlatar non-teologi yang adalah para penatua dan diaken.

Kelas Mosikola Teologi dilatarbelakangi kegelisahan atas bagaimana  agama-agama berperan aktif dalam merespon dinamika sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat yang nota bene mempengaruhi kualitas kehidupan manusia.  Agama-agama dipercaya mengambil bagian penting dalam menciptakan laku budaya masyarakat. Karena itu, beragama tidak lepas dari konteks masyarakatnya. Beragama di Kabupaten Poso memiliki konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik yang khusus sebagai wilayah paska konflik .

“Beragama di konteks masyarakat paska konflik membutuhkan tafsir teologi yang mengenal, memahami dan memaknai konteksnya sehingga beragama menjadi relevan dalam menjawab kebutuhan aktual masyarakat ” ujar Gede Supradnyana, yang juga adalah fasilitator Mosikola Teologi.

Kelas ini telah dimulai tahun 2021 melalui online, diikuti oleh 40 peserta dari berbagai wilayah . Memasuki tahun kedua , mengikuti perkembangan terbaru pandemi yang telah memungkinkan dilaksanakan pertemuan secara langsung , kelas dilaksanakan dalam bentuk tatap muka. 37 peserta mengambil bagian dalam kelas ini. 

Baca Juga :  Baku Tukar Motor, Pohintuwo Lembah Bada di Masa Pandemi

Gede optimis, banyaknya orang yang bergabung di Mosikola memunculkan harapan lahirnya pemikiran dan cara beragama yang lebih mampu merespon kondisi dunia yang terus berubah. Latar belakang peserta, yang memang belajar teologi dan warga yang tidak secara khusus mempelajarinya akan memperkaya proses belajar bersama.

“Gerak timbal balik ini penting untuk berteologi dalam konteks di tengah-tengah masyarakat” katanya. Dia menjelaskan, ada 5 pokok bahasan di Mosikola. 

Pertama tentang Kemajemukan. Topik ini membicarakan kenyataan bahwa tidak ada lagi tempat di dunia ini yang tidak majemuk. Tema ini memang sedang mendapat perhatian besar. Munculnya komunitas yang membangun pemukiman hanya untuk satu golongan tertentu bisa disebut sebagai penolakan terhadap kemajemukan bangsa ini.

Menurut Gede Supradnyana, fenomena ini menunjukkan kuatnya godaan seseorang untuk hidup dalam satu lingkungan yang berisi satu agama saja. Tempat ini menurut dia menutup kemungkinan kita untuk belajar dan melihat apa kekayaan budaya dan keyakinan orang lain. 

Di tema ini, akan ada sesi dimana peserta bertemu dengan mahasiswa muslim atau warga yang berbeda agama  untuk mendapatkan pandangan atau penjelasan mengenai tema-tema Islam yang sering dibicarakan namun kurang dipahami oleh umat agama lain. Misalnya penjelasan tentang Jihad. Bukan hanya belajar bersama di STAI Poso. Peserta juga akan diajak untuk tinggal bersama selama 1 hari dengan masyarakat di komunitas Islam di wilayah Poso Pesisir.

Baca Juga :  Ada "Ratapan Danau Poso" di Pertunjukan Teater

Tema kedua tentang kemiskinan. Ini soal klasik yang sudah sejak dahulu kala dibahas oleh para agamawan dan tentu saja jadi komoditi para politisi. Tapi rupanya, sebagian besar hanya senang membicarakannya, enggan merubahnya.

Sayangnya, menurut dia, seringkali Gereja menganggap bahwa orang yang miskin berada di luar dirinya. Bahkan menganggap kemiskinan sebagai tanda kurang iman. Hal itu terjadi karena Gereja lebih mendahulukan politik kekudusan (politic of holiness) daripada politik belas kasihan (politic of compassion).  Padahal, Tuhan selalu digambarkan sebagai yang berpihak kepada si miskin dan tertindas. Tuhan juga menentang peminggiran terhadap orang-orang kecil. 

Kelas Mosikola Teologi, mempertemukan para pendeta, mahasiswa teologi dan warga untuk berteologi kontekstual pembebasan . Foto : Ezra Botilangi

“Bagaimana orang bisa mendengarkan khotbah dengan baik kalau perutnya lapar, kalau hidupnya miskin” pertanyaan ini diajukan kepada peserta Mosikola dalam pertemuan yang dilaksanakan di Dodoha Mosintuwu 26 Agustus 2022.

Di tema lingkungan, para peserta diajak melihat cepatnya perubahan yang terjadi bahkan dilingkungan terdekat kita. Masifnya industri pertambangan menjadi tantangan serius yang dalam waktu pendek akan mengubah alam kehidupan sosial kita. Munculnya tambang nikel di Morowali dan Morowali Utara misalnya telah memicu kerusakan lingkungan besar-besaran. Tercemarnya Danau Tiu di desa Marale kabupaten Morowali Utara jadi contohnya. Atau terendamnya ratusan hektar sawah, kebun dan padang gembalaan di pinggir Danau Poso mengubah hidup masyarakat disekitarnya.

Sebagai fasilitator, Gede berharap, percakapan di kelas-kelas Mosikola, nantinya bisa menyadarkan bahwa hal-hal sepele yang terjadi dilingkungan sekitar kita sangat penting. Jadi peserta diajak menganalisis dan mencermati peristiwa sehari-hari disekitarnya.

Baca Juga :  Mengagendakan Kegelisahan di Peretas Berkumpul

Berkaitan dengan tema keadilan, kelas akan membicarakan bukan hanya soal-soal teori tapi melihat apa yang juga berlangsung disekitar kita. Mulai dari keadilan ekonomi, sosial hingga politik dan bagaimana seharusnya menanggapi dan memperjuangkannya.

“Perihal tema penderitaan. Kita biasanya justru abai dengan penderitaan orang yang justru ada disekitar kita” kata ede. Tema ini memang mau ajak peserta untuk benar-benar membahas konteks sehari-hari. Bagaimana menghubungkan teks agama dengan kenyataan hidup sekarang dan masa depan.

Dalam percakapan bersama dengan sahabat Mosikola, demikian sebutan bagi peserta Mosikola Teologi, tercatat harapan agar keikutsertaan dalam Mosikola Teologi adalah untuk dapat meningkatkan pelayanan pada masyarakat menjadi lebih baik, bisa mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru termasuk metode baru , serta menemukan metode baru. Beberapa sahabat Mosikola bahkan menulis harapan agar keikutsertaan mereka bisa menempa mereka menjadi aktivis masyarakat yang bisa merespon kondisi sosial masyarakat. Yang lainnya menuliskan tentang perubahan sikap untuk bisa menerima keragaman dan membangun kebersamaan .

Lian Gogali, ketua Institut Mosintuwu yang juga fasilitator dalam program Mosikola Teologi ini menyampaikan rancangan program di Mosikola Teologi mengajak pesertanya untuk peka dan kritis terhadap persoalan sosial kemasyarakatan sehingga bisa ikut dalam upaya-upaya membangun gerakan kemasyarakatan yang memperjuangkan keadilan. 

“Harapan kita, ada perspektif kritis dalam cara berteologi. Teologi yang kontekstual dan membebaskan. Juga meluaskan jaringan kerjasama di Poso dan Indonesia”kata Lian Gogali.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda