Pasiar Lebaran, Silaturahmi Yang Menguatkan Persaudaraan di Poso

0
723
Bapasiar lebaran , saat umat Kristen berkunjung bersilaturahmi ke rumah-rumah sahabat Muslim . Foto : Dok.Pribadi/Iin

“Tolong shareloc alamat rumah”,

Rabu, 10 April 2024, salah satu Whatsapp grup yang saya ikut riuh. Ini hari lebaran Idul Fitri 1445 Hijriah. Diantara kiriman pesan ucapan selamat Hari Lebaran. Seorang diantaranya mengirimkan pesan meminta alamat rumah.   Saya ikut menjawab “ikut” dengan emoticon lucu.

Itulah awal cerita perjalanan Pasiar kami di lebaran Idul Fitri. Komentar saling komentar di WA Grup menjadi kenyataan. Kelompok kami dari Tentena yang semuanya beragama Kristen bersepakat. Pasiar lebaran. Ini adalah yang pertama kalinya terjadi paska konflik kekerasan di Poso. Jalinan pertemanan yang terbentuk sejak kami mengikuti training mediator perdamaian membawa keberanian lebih besar pada sebagian besar teman yang ikut rombongan hari ini. Saya sendiri sudah terbiasa dengan komunitas Muslim karena bergiat di Mosintuwu, namun ini adalah juga kali pertama akan berlebaran di Poso Kota dan Poso Pesisir. Sejak awal kami sudah menyasar dua wilayah ini. Dua wilayah yang belum pernah lagi terjangkau di masa lebaran setelah konflik kekerasan. Kali ini kami berniat mencapainya.

Karena rumah saya agak jauh dari jalan utama, saya akhirnya menunggu jemputan di jalan Setia Budi, Kelurahan Tentena, Pamona Utara, tepat di depan gerobak penjual gorengan. Sekalian kami beli gorengan untuk bekal teman perjalanan. Saya akan dijemput oleh Pdt. Herlina Kabaya, teman yang selalu ceria setiap kali bertemu. Saya dan Pendeta Herlina, bersama seorang lainnya yang menyopiri mobil, melaju menuju Poso Kota. Mampir sebentar di Tendeadongi, menjemput seorang Sahabat lainnya, Ani. Genap kami berempat beranjak ke Poso.

Tiba di kota Poso, suasananya terlihat lebih ramai dari biasanya. Kami terlalu bersemangat akan bapasiar , lalu tiba-tiba kami saling pandang.  Tidak satupun diantara kami yang mengetahui dimana alat rumah-rumah yang akan jadi tujuan perjalanan hari ini.  Ah, setelah berdiskusi sejenak, akhirnya kami menjemput Pendeta Ida di Kelurahan Lombugia terlebih dahulu. Beliau yang akan kami andalkan menjadi mata jalan karena lebih menguasai seluruh wilayah Poso Kota.

Pendeta Ida pun masuk ke mobil. Bersama kami membahas rute Pasiar. Diputuskan, pertama-tama akan mengunjungi rumah Ustadz Abdul Rahim.  Dia adalah tokoh Islam muda yang sudah seperti saudara bagi kami. Kebetulan posisi rumahnya paling dekat dengan kami saat itu. Rumahnya di Kelurahan Tegal Rejo, hanya sekitar 5 kilometer dari Lombugia. Sesampainya di Tegal Rejo, ternyata Ibu Ida pun tak tahu persis letak rumah Uztad Rahim. Akhirnya kami putuskan menelponnya agar dipandu menuju rumahnya.

Bagitu sampai, keceriaan, kehangatan langsung terasa. Ustadz Rahim, seperti biasanya, dengan suara berat dan hangat menyambut kami di depan rumah. Kekeluargaan itu terasa begitu kuat diantara kami. Tidak ada kecanggungan, rasanya seperti rumah sendiri  Ruang tamu jadi tempat saling lempar canda, bercerita kembali tentang peristiwa-peristiwa lucu yang kami alami bersama. Tidak ada keragu-raguan saat kami bergurau.

Bapasiar lebaran , saat umat Kristen berkunjung bersilaturahmi ke rumah-rumah sahabat Muslim . Foto : Dok.Pribadi/Iin

Kue-kue kering menemani obrolan lepas. Saya yakin, kue lebaran barulah pembuka. Benar saja, beberapa saat kemudian, kami diajak masuk ke ruang makan. Disana sudah tersedia menu khas Lebaran. Ada Opor Ayam, ikan bakar, sambal, juga ada Inuyu dan Burasa. Biasanya, hanya burasa yang menemani Opor. Tetapi sekarang, ada Inuyu juga. Jadi terasa benar-benar lebarannya orang Poso. Tapi kami berupaya menahan diri untuk tidak makan terlalu banyak, masih ada rumah lain yang mau dikunjungi.  Sambil makan, Uztad Rahim bercerita, keluarga dari pihak isterinya yang memasak. Mereka dari Desa Pandiri, Kecamatan Lage. Maka pahamlah kami, inilah penyebab mengapa ada Inuyu di meja.

Baca Juga :  Sederhana, Milik Natal 2020

Puas bercerita, kami berpamitan.

Tujuan selanjutnya adalah rumah Pak Jabir. Dia salah seorang pengurus GP Ansor Poso, beralamat di Lorong Jayani Poso Kota. Sama seperti alamat rumah Ustad Rahim, kami  juga tidak tahu persis letak rumah Pak Jabir. Tetapi kami tetap senang-senang saja, karena ada telpon yang bisa digunakan. Akhirnya Pak Jabir, keluar menjemput di tempat mobil berhenti. Sambutan hangat khasnya yang senang becanda sontak keluar seperti biasanya.  Kue lebaran menggoda di dalam toples berderet diatas meja ruang tamu menyambut kedatangan kami. Ada semacam tantangan untuk menahan diri agar tidak mencoba semuanya, karena perjalanan masih panjang. Perut harus diatur supaya bisa menampung hingga perjalanan pulang nanti.

Tidak sampai lima belas menit ngobrol penuh gelak tawa di ruang tamu, kami sudah pindah ke ruang makan. Makanlah lagi kami.  Bermacam menu lezat sudah terhidang. Ibu Jabir, adalah juru masaknya. Makanan berat dan kue-kue terasa lezat. Pantas saja, Ibu Jabir, adalah pengusaha catering juga kue-kue basah dan kue kering. Komplit ini judulnya.

“Makan, ini sudah waktunya makan” Kata Pak Jabir tertawa sambil bilang di hari lebaran tidak boleh ada yang berpuasa.

Seperti dirumah Ustadz Rahim. Kami harus menahan diri untuk makan tidak terlalu banyak. Masih ada pemberhentian berikutnya. Ketika pamit melanjutkan Pasiar, Ibu Jabir, menahan kami sebentar. Ada apa gerangan? Kami duduk menunggu di teras. Di tengah-tengah obrolan, saya melihat di depan kami, ada satu rak kayu, di atasnya belasan lampu pelita(terbuat dari botol bekas, diberi sumbu dan minyak tanah), saya menanyakan kegunaannya.

“Oh, itu tradisi kami orang Gorontalo. Namanya lampu Tumbilotuhe”katanya.

Tumbilotuhe, tradisi saat lebaran dari Gorontalo. Foto : Dok.Pribadi/Iin

Dia menjelaskan, tradisi Tumbilotohe adalah menyalakan lampu pelita  tiga malam terakhir bulan ramadhan sampai malam takbiran tiba.  Berdasarkan morfologinya, Tumbilotohe berasal dari dua kata: Tumbilo (menyalakan) dan Tohe (lampu). Banyaknya lampu yang dinyalakan sesuai sejumlah anggota keluarga. Termasuk yang sudah meninggal juga di hitung.  Tradisi Tumbilotohe yang masih dirayakan Pak Jabir menunjukkan beragamnya budaya masyarakat kita disini. Itulah yang membuat Poso sangat berwarna.

Tak lama berselang keluarlah istri Pak Jabir, ternyata kami diminta menunggu selagi dia menyiapkan bungkusan untuk dibawa pulang. Isinya beberapa jenis kue dan minuman. Ini dia, membawa pulang bingkisan atau bungkusan yang khas dari tradisi Lebaran di Poso.

Baca Juga :  Memeriksa Kinerja DPRD Poso : Minim Perda Inisiatif untuk Rakyat, Abai isu Perempuan

Tiba-tiba teringat, jaman dulu, sekitar tahun 1984-1986, saat masih kecil, saya dan teman-teman Pasiar setiap lebaran. Bawa tas cerewet untuk menampung kue dari setiap rumah yang kami kunjungi.  Saya jadi senyum-senyum sendiri bila mengingatnya.  Dulu, saat akan masuk ke rumah berikut dan tas kresek sudah hampir penuh, kami gantungkan dulu di pagar atau pohon yang ada di halaman. Supaya tuan rumah yang kami singgahi tidak melihat bahwa kami sudah punya banyak kue.

Dari Poso Kota, Pasiar kami lanjutkan ke wilayah Poso Pesisir. Kali ini kami menuju ke Desa Pinedapa. Waktu tempuhnya sekitar 30 menit dari Poso Kota. Disana, orang tua kami, Imam Masjid At-Taubah Pinedapa, Muhamad Salman, kami panggilnya pak Imam Salman sudah menunggu.

Hari sudah menunjukkan pukul 20:00 wita ketika kami tiba di rumah Pak Imam. Senyum khasnya menyambut kami. Meski sudah mulai larut, semangat silaturahmi masih menyala.  Saat masuk ke ruang tamu, mata langsung tertuju di meja. Ada beberapa toples berisi kue kering menanti untuk dimakan.

Malu-malu tapi mau, sambil ngobrol, sesekali membuka setiap penutup toples, merasakan kerenyahan yang nikmat hingga menyentuh langit-langit mulut. Selain kue, ada keripik pisang dua rasa. Rasa manis pedas dan coklat. Enak sekali. Tentu bukan hanya sekedar memanjakan mulut. Kami bertukar kabar dengan Pak Salman. Dia bercerita tentang aktifitasnya mengelola masjid di desa.  Pak Salman adalah salah satu alumni training mediator yang diselenggarakan PGI bekerjasama dengan PUSAD Paramadina dan Institut Mosintuwu serta Klasis GKST Poso Kota akhir tahun lalu.

Dia selalu menganggap kami semua sebagai keluarga sejak bertemu pertamakali. Terbuka, hangat dan kerap melontarkan canda membuat kita gampang akrab dengannya.

“Kalau kalian sedang dalam perjalanan ke Palu atau dari Palu, boleh singgah untuk lepas lelah di rumah ini”. Sebuah tawaran yang menggambarkan kehangatan dan ketulusan.

Dia kemudian mengajak untuk menikmati menu utama yang dimasak istrinya. “ini ada hidangan alakadarnya dari Umi, mari silakan dinikmati.”

Umi, panggilan untuk istri Pak Salman menyajikan lima mangkuk bakso buatan sendiri. Benar-benar momen yang pas. Kami menikmatinya dengan sukacita sambil lesehan di lantai beralas karpet. Hangatnya kuah bakso mengesampingkan perut yang mulai penuh. Baksonya habis tak bersisa. Kami benar-benar menikmati makanan terlebih lagi suasana Lebaran. Hampir saja kami tidak lagi bisa berdiri, karena kekenyangan

Di rumah pak Salman jarum jam sudah menunjukkan angka 21:00 wita.  Tapi perjalanan belum selesai. Kami punya rencana penting lainnya. Ke Desa Tokorondo. Telepon Pendeta Herlina berbunyi saat kami sedang makan. Rupanya dari Ibu Irmawati, di Desa Tokorondo. Dia menanyakan posisi kami berada dan apakah kami sudah makan?.

“Jam berapa ke Tokorondo?”suara ibu Irma terdengar dari balik telepon. Rupanya dia dan keluarga besarnya menantikan kedatangan kami.

Seperti sebelumnya. Sebelum beranjak pergi. Tuan rumah kembali membungkuskan kami makanan yang kami mau bawa. Umi membungkus keripik pisang. Terimakasih Pak Imam dan Umi. Bagasi mobil mulai penuh bungkusan. Perjalanan kami lanjutkan ke Desa Tokorondo, jaraknya dekat, hanya sekitar 10 menit saja.

Baca Juga :  John dan Metafora Bumi
Bapasiar lebaran , saat umat Kristen berkunjung bersilaturahmi ke rumah-rumah sahabat Muslim . Foto : Dok.Pribadi/Iin

Mencari alamat kembali dilakukan. Belum satupun diantara kami pernah bertandang ke rumah ibu Irma. Saking awamnya di Tokorondo,kami sampai terlewat. Untung tidak terlalu jauh. Lagi-lagi kami harus dipandu melalui sambungan telepon. Entah mengapa, diantara kami tidak ada yang menggunakan fasilitas berbagi lokasi yang ada di whatsaap.

Akhirnya kami tiba dilorong depan rumah Ibu Irma. Dia sudah menunggu kami di depan pagarnya. Suami Dan anak-anaknya juga turut menyambut kedatangan kami.

“Akhirnya sampai juga saya di Tokorondo”, kataku ke Ibu Irma sambil memeluknya. Lalu menyalami semua anggota keluarga.

“Mari, silakan duduk,” Ibu Irma mempersilahkan

.Kami langsung ke ruang tamu rumah Ibu Irma. Di ruang yang sama ada satu meja kecil yang dipenuhi beberapa toples kue Lebaran, dan satu meja yang agak besar yang dipenuhi dengan makanan. Kami saling berpandangan, dan tertawa, karena merasa luar biasanya perjalanan Pasiar ini. Ibu Irma, langsung mempersilakan kami untuk merapat di meja-meja yang menyediakan opor ayam kampung, burasa, daging sapi masak rendang, sup ayam yang hangat, sehangat sambutan tuan rumah.

Kami menikmati, makan ditemani Ibu Irma dan keluarga. Kami makan sambil ngobrol. Kali ini makan semampunya. Ini ada pemberhentian terakhir perjalanan hari ini. Sambil makan kami terus bercerita, bertukar kabar dan kisah. Ini yang paling seru, kami dipersilakan untuk membungkus sendiri makanan yang ada. Tentu saja ini membuat kami bersemangat, karena Ibu Irma , juga menyediakan wadah membungkusnya untuk kami membungkus makanan dan kue-kue yang ada.

Tidak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 23:40 wita. Sepertinya ini waktunya benar-benar sudah harus pulang. Perjalanan ke Tentena butuh waktu lebih dari 1 jam.

Perjalanan Ini adalah sebuah sejarah untuk kami semua. Bukan hanya bahwa kami pertama kali kembali bapasiar lebaran, atau   kami bapasiar dari siang sampai jelang tengah malam. Yang terutama adalah merasakan semua suasana kehangatan yang kami rasakan telah menguatkan rasa persaudaraan. Tidak ada lagi cerita trauma apalagi dendam, yang ada adalah harapan yang sedang kami tata bersama untuk Poso yang indah.

Pdt. Herlina yang memiliki trauma karena konflik bahkan mengirimkan pesan ke saya ketika menanyakan refleksinya atas perjalanan kami “Ini pengalaman pertama yang takkan terlupakan. Sangat berkesan. Sangat mengharukan. Mereka bukan hanya teman, tapi mereka adalah saudara-saudari saya yang begitu baik. Ziarah kali ini mengisahkan seribu cerita untuk generasi selanjutnya bahwa perjumpaan ini adalah perjumpaan bersejarah dalam membangun harmoni kehidupan yang sudah lama terkikis oleh “rasa curiga”. Ah teman-temanku, saya/kami menunggu kunjungan balasan kalian di saat Natalan”

Kami pulang, bukan hanya kekenyangan, tapi bahagia.

Penulis : Iin Hokey

Editor : Lian Gogali

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda