Menulis Kembali Dongeng Poso, Menjaga Kearifan Leluhur

0
148
Proses menulis kembali dongeng-dongeng Poso bersama anak muda perempuan Poso. Foto : Dok. Mosintuwu

Seorang pahlawan super sudah sangat familiar di telinga anak-anak Poso era 1950an ketika belum ada televisi atau cerita bergambar menjangkau wilayah ini. Saat Stan Lee merilis sosok Iron Mask tahun 1968. Di tepi Danau Poso sudah ada manusia super bernama Bukiau. Bukiau dan Iron Mask sama-sama memiliki kekuatan dahsyat yang disemburkan melalui tangannya. Di dada keduanya juga muncul cahaya putih menyilaukan saat kekuatan super itu digunakan.

Iron Mask, kita semua tahu adalah karakter yang diciptakan Stan Lee dibawah bendera Marvel Comics, namun siapa pencipta Bukiau kita tidak pernah mendengarnya. Buku cerita tentang sosok yang menguasai tepian Danau Poso itu juga tidak ditemukan di perpustakaan. Dia hanya pernah sering diceritakan dari mulut ke mulut. Itupun, tidak lagi sampai ke telinga anak-anak saat tradisi bertutur digantikan televisi dan kini gawai pintar.

Proses menulis kembali dongeng-dongeng Poso bersama anak muda perempuan Poso. Foto : Dok. Mosintuwu

Kisah Bukiau dan cerita-cerita turun temurun masyarakat Poso lainnya menjadi salah satu pendorong lahirnya Komunitas Dongeng Poso. Gerakan yang di inisiasi sejumlah remaja perempuan ini sudah melakukan langkah maju. Menulis. Agar cerita bijaksana yang sarat makna tidak lenyap oleh waktu.

Adalah 7 orang remaja perempuan, Echa Torokano, Kezia Tabunggi, Aurel Sewang, Ferny To’umbo, Indry Kanina, dan Dina Ancura yang sama-sama punya hobi menulis dan bercerita, bersepakat membentuk sebuah komunitas yang mereka beri nama Komunitas Dongeng Poso. Nama Poso dipakai untuk menunjukkan kalau cerita yang mereka angkat semuanya berasal dari wilayah ini.

Dina Ancura mengatakan, ide membentuk komunitas ini muncul karena menyadari dia dan kawan-kawannya hampir sudah tidak lagi pernah mendengarkan dongeng yang dalam bahasa Poso dikenal dengan Laolita. Kalaupun ada yang mereka dengarkan biasanya adalah fabel tentang Harimau, Gajah, atau Jerapah, hewan yang tidak ada di Sulawesi. Padahal, Poso kaya dengan cerita-cerita seperti itu.

Baca Juga :  Konferensi Perempuan Poso Tentang Tanah, Air dan Hutan

Dina mencontohkan cerita tentang sejarah penyebaran leluhur orang Poso dalam kisah Watu mPoga’a, atau Monumen Batu Perpisahan. Cerita ini mengajarkan kepada generasi masa kini bahwa, kita semua berasal dari leluhur yang sama.

Echa, salah satu anak muda perempuan Poso nampak serius menuliskan kembali dongeng Watumpoga’a. Echa merupakan salah satu dari 7 anak muda yang sedang menuliskan ulang dongeng Poso. Foto : Dok. Mosintuwu

Atau kisah kecerdikan seorang peri di Danau Poso yang menaklukkan seorang peri lain yang sombong tanpa perlu bertarung. Cerita ini muncul dalam dongeng Watu mPangasa Angga atau Batu Pengasah.

Ada juga fabel tentang seekor monyet atau boti dalam bahasa Poso yang punya kebesaran jiwa meminta maaf kepada seluruh hewan yang hidup di hutan karena terganggu dengan tabiatnya yang bernyanyi tanpa mengenal waktu sehingga mengganggu ketenangan hewan lainnya.

Berikut potongan kisahnya.

Malam itu, di rumahnya, di pohon Longkida, Boti menulis di selembar kertas. Dia menempelkannya di pintu kamarnya, 

“mulai sekarang, aku tidak boleh mengganggu orang dengan nyanyianku. Aku akan bernyanyi dengan baik pada waktu yang tepat, dan tidak menyanyikan lagu sembarangan” 

Bukan cuma itu, keesokan harinya, Boti meminta maaf kepada Ibu si burung Alo, Nana si Anoa, Tita si Tarsius, Kiko si kura-kura, dan penghuni hutan lainnya.

Sejak saat itu, nyanyian Boti terdengar lebih menyenangkan.

Banyaknya dongeng warisan turun temurun kini terancam hilang. Selain tradisi mendongeng di dalam keluarga yang sudah nyaris hilang. Kisah-kisah ini tidak terdokumentasi dengan baik.

Baca Juga :  Alkhairat - Institut Mosintuwu Bersama Membangun Damai di Poso
Proses menulis kembali dongeng-dongeng Poso bersama anak muda perempuan Poso. Foto : Dok. Mosintuwu

Itulah yang membuat 7 remaja perempuan ini bergerak, mulai mengumpulkan cerita-cerita yang pernah mereka dengar, lalu menuliskannya kembali. 6 diantara mereka masih berusia 15-17 tahun. Ada Echa Torokano, Kezia Tabunggi, Aurel Sewang, Ferny To’umbo, Indry Kanina, dan Dina Ancura.

Proses ini tidak mudah. Menulis cerita yang ringan, ringkas, enak dibaca, menarik perhatian adalah pekerjaan tidak mudah. Butuh waktu untuk melakukannya. Untungnya Dina dan teman-temannya sangat tekun. Saat ini terdapat 10 dongeng yang sedang ditulis ulang. Legenda tempat-tempat di sekitar Danau Poso yang saat ini sedang ditulis antara lain dongeng Watumpogaa, dongeng Watuyano, dongeng Watupangasa Angga, dongeng Padamarari, dongeng ayam ajaib, dongeng Bancea. Ada juga fabel Poso, yaitu dongeng Boti dan Ulat sagu, dongeng Tikus dan Tiram, dongeng burung kum-kum.

Dibantu kak Mochamad Ariyo Faridh dikenal dengan panggilan kak Aiyo, storyteller serta  pendiri Ayo Dongeng Indonesia dan Lian Gogali, peneliti dan pendiri Institut Mosintuwu, mereka mulai menulis ulang cerita-cerita yang mereka dengar di kampungnya.

Proses menulis, membaca ulang untuk memastikan alurnya jelas dan logis, lalu menambahkan sentuhan menarik agar yang membacanya tidak pindah ke cerita lain menjadi proses menantang. Ini baru proses menulisnya. Setelah tulisan dirasa beres, mereka pindah ke proses selanjutnya, yakni mendongengkan cerita mereka itu. Disini, tantangan berikutnya muncul. Kepercayaan diri mereka kembali dilatih.

Kak Aiyo misalnya bertanya tentang alur cerita Padamarari yang tidak runut. Selain itu masih kurang mengeksplorasi apa sebenarnya penyebab masalah yang membuat Ndoi, tidak menyukai si pemuda yang hendak menyuntingnya.Sedangkan Lian Gogali meminta mereka untuk tidak terburu-buru menyelesaikan cerita ketika diatas panggung. Lian berpesan agar saat membaca, pendengar menangkap setiap kata yang keluar dari mulut dengan jelas dan jernih.

Baca Juga :  Mampasimbaju, Merawat Legasi Pitarah di Tengah Gempuran Masa

Dua kali workshop dilakukan untuk memastikan cerita dan cara menceritakannya sudah baik. Pada workshop yang dilaksanakan di Dodoha Mosintuwu pada 27 September 2024 lalu, ada sesi menarik. Mereka mendongengkan apa yang sudah ditulis. Yang lain mendengarkan lalu memberikan masukan.

Sesi ini bukan hanya penting untuk menyempurnakan cerita. Tetapj mengajak mereka untuk menerima masukan dan kritik dari pendengar. Cara ini menurut Ferny penting untuk mengetahui apa yang harus diperbaikinya, baik dari cerita maupun cara mendongeng.
Dan yang lebih penting dari itu, menurut dia adalah kebesaran jiwa untuk mendengarkan kritik atas kekurangan yang masih ada di dalam cerita yang mereka tulis atau cara menceritakannya.

Anak-anak muda pendongeng yang bergabung dalam komunitas dongeng Poso. Mereka juga terlibat dalam penulisan ulang dongeng Poso. Foto : Dok. Mosintuwu

Cerita yang dituliskan kembali oleh 7 orang pelajar ini bukan hanya proses pendokumentasian tradisi-tradisi Poso yang hampir hilang, tapi juga proses belajar untuk mendengar dan menerima pendapat orang lain. Seperti para leluhur dahulu yang selalu berpesan kepada anaknya untuk menjaga alam, menjaga persaudaraan dengan siapapun. Seperti pesan Raja Rumbenunu diakhir hidupnya dalam kisah Watu mPoga’a:

“Aku ingin kalian hidup mandiri sembari menjaga semua kekayaan yang ada di Danau Poso, oleh karena itu kalian harus berpisah ke tujuh tempat di Danau Poso dan hidup serta beranak-cucu lah.. Namun ingat, bahwa kalian semua berasal dari akar yang sama sehingga sejauh apapun kalian pergi.. ingat, bahwa kalian adalah keluarga.”

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda