Mengapa Korban KBGO di Poso Enggan Melapor

0
37
Sebanyak 30 orang pelajar SMP, SMA/SMK dan guru serta aktivis perempuan di Poso mengikuti workshop KBGO yang dilaksanakan oleh Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Purple Code. (Foto :dok.Mosintuwu)

“Saya bingung, shock. Tidak tahu harus bagaimana. Lalu bertanya apakah itu pelanggaran hukum?”(korban KBGO di Poso)

Diam ketika menjadi korban kekerasan masih dianggap sebagai bentuk pengorbanan agar hubungan pacaran dan pernikahan bertahan. Fenomena ini juga terjadi di Kabupaten Poso. Banyak korban kekerasan, khususnya di ranah digital memilih tidak mengungkapkannya, apalagi melapor.

SAFEnet Indonesia mencatat, tahun 2024 kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia naik 4 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2024 kasus KBGO naik 4 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 118 kasus di triwulan I 2023 menjadi 480 kasus pada triwulan I 2024. Adapun rentang usia korban antara 18-25 tahun sebanyak 272 kasus atau 57 persen dan anak-anak rentang usia di bawah 18 tahun dengan 123 kasus atau 26 persen.

Tapi apakah KBGO itu? apa bedanya dengan kasus kekerasan berbasis gender lainnya? Dan mengapa kasus ini semakin banyak terjadi?

Menurut The United Nations Declaration on the Elimination of Violence Against Women, KBGO merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara seksual, fisik, dan psikologi, serta membuat perempuan merasakan penderitaan dengan mencakup perilaku berupa pemaksaan, pengancaman, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup pribadi dan publik. Dengan demikian, KBGO bisa diartikan sebagai kekerasan berbasis gender di ruang media digital (Areta A et al., 2021).

Istilah KBGO bisa dibilang belum terlalu dimengerti banyak orang di Indonesia, meskipun, internet telah mencapai desa-desa di tahun 2010-an. Jauh sebelum internet mencapai titik terjauh di Kabupaten Poso, KBGO sudah dialami sejumlah perempuan disini.

Diskusi diantara peserta mengenai fenomena KBGO di Kabupaten Poso. Lebih dari 80 persen peserta pernah mendengar ada korban disekitar mereka.(Foto :Dok. Mosintuwu)

Seorang guru perempuan bercerita tentang pengalamannya mengalami kekerasan lewat panggilan telepon. Waktu itu sekitar tahun 2000 ketika di Poso baru terdapat telepon rumah dan telepon umum (warung telepon) dia mendapat telepon dari orang yang dikenalnya yang langsung bertanya dengan nada melecehkan secara seksual. Dia tidak tahu harus merespon bagaimana, apalagi si penelpon adalah orang yang lebih tua dan dikenal baik oleh keluarganya.

“Saya bingung, shock. Tidak tahu harus bagaimana. Lalu bertanya apakah itu pelanggaran hukum?”ceritanya kepada para peserta lain dalam Workshop Mengenal KBGO yang diselenggarakan Institut Mosintuwu bekerjasama dengan Purple Code di Tentena pertengahan Februari 2025. Kegiatan ini dihadiri sekitar 30 orang pelajar serta guru pendamping dari SMP dan SMA/SMK di kecamatan Pamona Puselemba dan Pamona Utara.

Jika guru ini masih mengingat peristiwa yang dialaminya sekitar 24 tahun lalu, bagaimana dengan remaja saat ini di dunia yang hamper seluruhnya sudah terbuka dan tehubung oleh internet?

Survey yang dilakukan Institut Mosintuwu kepada pelajar beberapa sekolah SMP, SMA/SMK di Kecamatan Pamona Puselemba, Pamona Utara dan Pamona Barat.(Foto : Dok. Mosintuwu)

Seorang guru SMA lainnya menceritakan sejumlah murid yang jadi korban kerap mengalami kekerasan di dunia digital terus menerus karena tekanan sosial. Misalnya ada korban yang tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya sebagai bentuk pengorbanan dalam pacarana. Dalam kasus lain, ada perempuan yang menutup rapat kekerasan yang dialaminya hanya supaya rumah tangganya tidak bubar.

“Kalau tidak ada sikap seolah berkorban seperti itu maka kasus seperti ini sebenarnya bisa cepat diselesaikan”kata guru lainnya tentang banyaknya kasus KBGO yang mengendap, tidak muncul ke permukaan karena takut dianggap aib bagi keluarga.

“Ini banyak sekali terjadi disekitar kita. Disebabkan semakin terbukanya pergaulan terutama di internet tapi tidak disertai dengan literasi tentang perlindungan hak-hak perempuan yang dijamin secara hukum”ujar guru lainnya yang menjadi peserta.

Kasus KBGO terjadi di seluruh dunia. Pada 2015 laporan Networked Intelligence for Development 2015 menyebutkan ada 73% perempuan di dunia memiliki pengalaman kekerasan online. Pada tahun 2020, The Economist Intelligence Unit (EIU) menyebut ada 38% perempuan melapor pernah mengalami kekerasan online, sementara 65% menyatakan mengetahui perempuan lain pernah menjadi korban kekerasan online.

Secara umum, perempuan dan anak perempuan merupakan mayoritas korban KBGO. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Institute of Development Studies menemukan bahwa antara 16-58% perempuan pernah mengalami kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi dalam hidup mereka.

Data The Economist Intelligence Unit menyebut, tiga kasus KBGO yang paling umum dialami oleh perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia adalah misinformasi dan pencemaran nama (67%), pelecehan online (66%), dan ujaran kebencian (65%). Perempuan dengan pekerjaan tertentu, seperti jurnalis dan politisi, lebih rentan menjadi sasaran.

Di Indonesia, laporan Catahu Komnas Perempuan 2021mencatat, sejak dilaporkan tahun 2018 sebanyak 97 kasus, jumlah KBGO meningkat menjadi 281 kasus di tahun 2019 dan naik menjadi 991 kasus di 2023.

Di Kabupaten Poso, KBGO juga menjadi ancaman kekerasan baru yang dialami perempuan, khususnya pelajar dan mahasiswa. Berdasarkan survey yang dilakukan Institut Mosintuwu pada 30 orang pelajar menemukan, 93,8 persen sumber informasinya adalah media sosial, sisanya dari televisi.

Survey yang dilakukan Institut Mosintuwu terhadap 30 pelajar SMP, SMA/SMK di Kabupaten Poso per Februari 2025 menemukan, 81,3 persen dari mereka mengetahui kalau orang disekitarnya mengalami KBGO. 50 persen dari mereka sudah pernah mendengar mengetahui istilah KBGO. 43,8 persen mengetahuinya lewat media sosial.

Survey yang dilakukan Institut Mosintuwu kepada 30 pelajar SMP, SMA/SMK di Kecamatan Pamona Puselemba, Pamona Utara dan Pamona Barat. (dok. Mosintuwu)

Sebanyak 62,5 persen kekerasan yang dialami para pelajar ini berupa tindak kekerasan atau pelecehan dari pacar atau teman. Adapun bentuk KBGO yang paling banyak dialami adalah ancaman penyebaran foto/video intim nonkonsensual. Dari jumlah itu, 50 persen korban mengaku melaporkannya. Sedangkan 12,5 persen mendiamkannya. Sebanyak 6,3 persen korban meminta untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai apa yang dialaminya.

Banyaknya perempuan yang mengalami KBGO bisa dilihat dari kasus yang didampingi Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu. Pada tahun 2023 ada 2 kasus KBGO yang terjadi dan dilaporkan ke pihak penegak hukum. Sedangkan di tahun 2024 juga ada 2 kasus. Korbannya adalah mahasiswa dan pelajar. Proses pengungkapan kasus ini tidak mudah. Keluarga korban mengalami kebimbangan hingga ketakutan jika kasus ini dilaporkan.

Hal yang paling korban dan keluarganya takutkan adalah pandangan negative public terhadap korban dan keluarga. Hal kedua, tidak yakin kasus ini bisa memulihkan nama baik korban dan keluarga. Ketakutan akan penghakiman masyarakat menjadi hal yang paling banyak dipertimbangkan korban dan keluarganya sehingga enggan menyelesaikan kasus yang terjadi secara hukum.

Mayoritas Menggunakan Internet untuk Hiburan dan Media Sosial

Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan jumlah pengguna internet Indonesia tahun 2024 mencapai 221.563.479 jiwa atau 79,50 persen dari total 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia. Meski dianggap sebagai satu kemajuan, namun jika melihat hasil survey yang dilakukan BPS tahun 2024 lalu, pada penduduk usia 5 tahun keatas, kita melihat hanya 11,36 persen (perempuan) dan 8,68 persen (laki-laki) yang memanfaatkannya untuk belajar, sementara 77 persen untuk bermedia sosial.

Bagaimana di Poso?

Survey yang dilakukan Institut Mosintuwu menemukan, 93,8 persen responden menggunakan internet untuk mencari informasi di media sosial. Platform media sosial yang paling banyak di gunakan adalah intagram (93,8%) dan Facebook (87,5%). Sebanyak 31 persen responden menyebut menggukan internet setiap saat. Dan ada 12,5 (%) menjawab hanya 2 jam dalam sehari.

Tingginya durasi melihat layar gawai dalam sehari belum berkorelasi dengan peningkatan kesadaran untuk melindungi korban. Hal itu tercermin dari sikap responden terhadap korban KBGO. Dari 81,3 persen yang mengetahui adanya orang disekitarnya mengalami kekerasan, hanya 50 persen yang menyatakan akan melaporkan. Sebanyak 12,5 persen menyatakan diam saja dan 18,8 persen tidak tahu.

Survey yang dilakukan Institut Mosintuwu kepada 30 pelajar di beberapa sekolah SMP, SMA/SMK di Kecamatan Pamona Puselemba, Pamona Utara dan Pamona Barat. (Dok. Mosintuwu)

Berkaca dari beberapa kasus KBGO yang terjadi di Poso, terlihat pendamping korban harus bekerja lebih keras karena masih kurangnya dukungan lingkungan sekitarnya, seperti yang diceritakan Sariana, perempuan yang mendampingi kasus KBGO di desanya. Dia menghabiskan banyak waktu untuk menghimpun dukungan bagi korban dan keluarganya agar punya kepercayaan diri untuk melaporkan kasus itu ke kepolisian. Sebagai pendamping, dirinya mengalami banyak tekanan dari berbagai pihak. Terutama yang masih menganggap KBGO bukanlah kasus penting untuk dibawa ke ranah hukum.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda