Transformasi Gerakan Perempuan Poso untuk Keadilan

0
32225
Festival Sekolah Perempuan tahun 2016 mengumpulkan 350 anggota sekolah perempuan menghasilkan komitment untuk membangun desa. Foto : Dok. Mosintuwu/Vifick

“Hari ibu mengalami pergeseran makna yang semakin jauh dari konteks sebelumnya. Ini ditandai dengan simbol-simbol Hari Ibu yang melekat pada domestifikasi peran perempuan” Demikian penjelasan Lian Gogali, dalam  di hadapan anggota sekolah perempuan tentang sejarah gerakan perempuan. “ tanggal 22 Desember yang kemudian dijadikan hari Ibu , adalah tonggak sejarah gerakan perempuan melalui Kongres Perempuan Indonesia yang pertama” sambungnya.

Menurut Lian,  tanggal 22 – 25 Desember 1928, kelompok perempuan dari berbagai wilayah berkumpul di Jogjakarta untuk pertama kalinya membicarakan mengenai partisipasi politik perempuan dalam perjuangan bangsa Indonesia . Saat itu, kata Indonesia , bahkan belum terlalu sering digunakan. Tapi, kongres perempuan  yang diprakarsai oleh Nyi Hajar Dewantara, Ni Suyatin dan Ny. Sukonto  ini  selain sudah menggunakan konsep kebangsaan Indonesia juga telah membicarakan masalah-masalah serius perempuan dan kebangsaan.

“Bahkan sebelum Indonesia merdeka, perempuan telah membicaraka hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan . Karena itu sayang sekali jika Hari Ibu hanya dimaknai penghargaan peran perempuan sebagai ibu, bukan sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama dan setara dengan laki-laki” sambung Lian.

Lian menduga, trend menjadikan moment tanggal 22 Desember 2016 sebagai hari ibu dalam pemahaman seperti yang sekarang ini ada berasal dari tradisi negara-negara lainnya di dunia yang mempunyai Mother’s Day.

Baca Juga :  Merasakan Semangat Perempuan Dulumai di Festival Tradisi Kehidupan

Karena itu, menyambut Hari Ibu tahun 2016, Institut Mosintuwu bersama seluruh anggota sekolah perempuan dari angkatan I , 2 dan 3 mendorong dirayakannya hari Ibu dengan memaknai kembali partisipasi politik perempuan dalam perjuangan ekonomi, sosial, budaya dan politik.

“Seluruh perempuan yang bergabung di sekolah perempuan, diajak untuk memaksimalkan kampanye dan advokasi di desa-desa terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Juga , menggunakan radio Mosintuwu menyebarluaskan suara dan pandangan perempuan. Dan di bidang ekonomi, mendorong partisipasi perempuan mengembangkan ekonomi solidaritas “ Ungkap Lian. “ Dengan aktivitas perempuan yang aktif dalam desa membangun, bagian dari cara bagaimana kelompok perempuan merefleksikan cita-cita gerakan perempuan tanggal 22 Desember 1928. Kami memaknainya dalam konteks desa membangun dan pembangunan desa di Kabupaten Poso yang adil dan setara”

Saat ini tercatat kurang lebih 100 perempuan dari 500 anggota sekolah perempuan Mosintuwu telah menjadi bagian dari struktur pemerintahan desa. Lainnya aktif dalam pengembangan ekonomi, mengadvokasi layanan masyarakat dan mengembangkan ruang aktivitas buat anak-anak.

“ Kami mau menjadi kelompok perempuan yang aktif perjuangkan keadilan dan kesetaraan” seru Ibu Marce , anggota sekolah Perempuan dari Desa Bancea.

Gerakan Perempuan Poso untuk Keadilan

Baca Juga :  Arogo Onco : Sup dengan Daun Kembar, Nyami to Poso

“Perempuan Poso belajar dari sejarah gerakan perempuan tanggal 22 Desember 1928, antara lain dengan menguatkan barisan dan membangun komitment menjadi bagian aktif dalam perjuanngan mewujudkan perdamaian dan keadilan” kata Lian Gogali, direktur Institut Mosintuwu dalam siaran pers menyambut Hari Ibu yang disebut sebagai Hari Gerakan Perempuan 22 Desember 2016.

Sejarah munculnya gerakan perempuan di Kabupaten Poso dikuatkan terutama saat munculnya Kongres Perempuan Poso tanggal 25 – 27 Maret 2014. Setelah melalui proses Musyawarah Perempuan Desa yang melibatkan 1000 perempuan dari 70 desa, Kongres Perempuan Poso yang pertama kali diadakan di Kabupaten Poso ini melibatkan 450 perempuan. Mereka adalah para perempuan petani,nelayan, buruh, ibu rumah tangga dan pekerja serabutan.

Banyak yang meragukan para perempuan akar rumput mampu menghasilkan rekomendasi yang jelas, mengingat sebagian besar mereka lulusan SD, SMP dan SMU.  “Terdapat 135 rekomendasi berkaitan dengan hak perempuan atas layanan publik, perlindungan terhadap perempuan anak, partisipasi politik perempuan dalam pembangunan desa; lembaga dan hukum adat yang berperspektif gender; komitment perempuan dalam ekonomi solidaritas” Jelas Lian. “ rekomendasi dari perempuan Poso ini ditujukan bukan hanya pada pemerintah daerah, stakeholder di Kabupaten Poso tapi juga bagi kelompok perempuan . Bahkan tercatat perempuan dari Poso-lah yang pertama kali memberikan usulan pada Tim Perumus Peraturan Pemerintah tentang UU Desa. Ini sumbangan untuk gerakan nasional ” lanjut Lian.

Baca Juga :  Pembukaan Sekolah Perempuan MOSINTUWU

Sejak Kongres Perempuan 2014 lalu, gerakan perempuan di Poso telah menguat dan membangun solidaritas antar kelompok perempuan antar desa. Antara lain terciptanya kurang lebih 10 produk usaha desa oleh kelompok perempuan, terdapat 100 lebih perempuan yang telah terlibat aktif dalam proses perencanaan pembangunan; 50 perempuan memiliki posisi pengambil keputusan di dalam desa, juga kelompok perempuan di desa bergandengan tangan melakukan advokasi hak layanan masyarakat.

“Hari Ibu yang bagi kami adalah hari gerakan perempuan menjadi pengingat bahwa perempuan Poso sudah memberikan sumbangsih pada pembangunan desa sehingga harus menjadi pertimbangan penting dalam keputusan pembangunan Kabupaten Poso, tapi juga tugas untuk mewujudkan kesetaraan masih harus diteruskan” pungkas Lian.

Lian, mengajak seluruh elemen masyarakat menjadi bagian dari mendorong perubahan dengan mendukung gerakan perempuan di Kabupaten Poso. Salah satu caranya, menurut Lian, adalah dengan melibatkan perempuan dalam seluruh aktivitas di desa tanpa terkecuali. “Hari ibu, adalah hari pengingat pentingnya perempuan dalam desa membangun dan untuk pembangunan Poso “ tegas Martince, koordinator Pengorganisasian Mosintuwu.

Tinggalkan Balasan

Silahkan berkomentar
Mohon masukkan nama anda